27 Agustus 2021

GEREJA SEBAGAI UMAT ALLAH



A.    Arti dan Makna Gereja sebagai Umat Allah
Istilah “Umat Allah” sudah digunakan dalam Perjanjian Lama yang kemudian dimunculkan dan dihidupkan kembali oleh Konsili Vatikan II setelah sekian lama Gereja menjadi terlalu hierarkis; didominasi oleh kaum rohaniwan dan awam yang adalah mayoritas dalam Gereja agak terdesak ke pinggir. Dengan paham Gereja sebagai Umat Allah, diakui kembali kesamaan martabat dan peranan semua anggota Gereja. Semua anggota Gereja memiliki martabat yang sama, hanya berbeda dalam hal fungsi.
Menurut Minear, umat Allah adalah umat yang kepadanya Allah mengutus Anak-Nya sebagai Penyelamat dan Raja. Umat Allah tidak lepas dari kelahiran Yesus atau PelayananNya, dan dari pesta Perjamuan Kudus atau Kebangkitan atau bahkan keturunan Roh pada hari Pentakosta.[5] Tetapi juga harus diingat bahwa Umat Allah juga tidak bisa lepas dari perjanjian yang mana aktivitas Allah dalam zaman Abraham dan Musa. Kenyataan ini, tentu tidak mengecualikan realitas pemilihan atau mengurangi makna yang abadi.
Dalam pemahaman ini, Tom Jacobs lebih menyetujui Ekaristi sebagai artian Gereja[6] khususnya dalam artian “umat Allah” atau dengan perjamuan Ekaristi, terbentuklah jemaat. Perayaan ekaristi tertuju pada pembentukan jemaat hal itu jelas dalam 1 Kor 11:22. Bagi paulus, Jemaat Allah sama artinya dengan umat Allah, tetapi dalam kata Yunani, “Umat (Laos) Allah” tidak tepatnya sama dengan “Jemaat (Ekklesia) Allah” dan yang sangat menyolok, “umat Allah yang dipakai oleh Paulus, hanya dipakai untuk kutipan-kutipan Perjanjian Lama
Geraja sebagai Umat Allah memiliki ciri khasnya yakni:
1.      Umat Allah merupakan suatu pilihan dan panggilan dari Allah sendiri. Umat Allah adalah bangsa terpilih, bangsa terpanggil.
2.      Umat Allah dipanggil dan dipilih untuk Allah dan untuk misi tertentu, yaitu menyelamatkan dunia.
3.      Hubungan antara Allah dan umatNya dimeteraikan olehsuatu perjanjian. Umat harus menaati perintah-perintah Allah dan Allah akan selalu menepati janji-janjiNya.
4.      Umat Allah selalu dalam perjalanan melewati padang pasir menuju Tanah Terjanji.
Dalam Perjanjian Baru, Gereja merupakan satu Umat Allah yang sehati sejiwa, seperti yang ditunjukkan oleh Umat Purba.[7] Gereja harus merupakan seluruh umat, bukan hanya hierarki saja dan awam seolah-olah hanya merupakan tambahan, pendengar dan pelaksana. Singkatnya: Gereja hendaknya MENGUMAT.

B.     Dasar dan Konsekuensi Gereja yang Mengumat
1.      Dasar dari Gereja yang Mengumat
Setiap orang dipanggil untuk melibatkan diri secara penuh dalam kehidupan Umat Allah atau MENGUMAT. Mengapa harus demikian?
a.       Hidup  mengumat pada dasarnya merupakan hakikat dari Gereja itu sendiri, sebab hakekat Gereja adalahpersaudaraan cinta kasih seperti yang dicerminkan oleh hidup Umat Purba.[8]
b.      Dalam hidup mengumat banyak karisma dan rupa-rupa karunia dapat dilihat, diterima dan digunakan bagi kekayaan seluruh Gereja. Hidup Gereja yang terlalu menampilkan segi organisatoris dan structural dapat mematikan banyak karisma dan karunia yang muncul dari bawah.[9]
c.       Dalam hidup mengumat, semua orang yang merasamenghayati martabat yang sama akan bertanggungjawab secara aktif dalam fungsinya masing-masing untuk membangun Gereja dan memberi kesaksian kepada dunia.[10]

2.      Konsekuensi dari Gereja yang Mengumat
a.      Konsekuensi bagi Pimpinan Gereja (Hierarki)
·         Menyadari fungsi pimpinan sebagai fungsi pelayanan. Pimpinan bukan di atas umat, tetapi di tengah umat.
·         Harus peka untuk melihat dan mendengar karisma dan karunia-karunia yang bertumbuh di kalangan umat.

b.      Konsekuensi bagi setiap Anggota Umat
·         Menyadari dan menghayati persatuannya dengan umat lain. Orang tak dapat menghayati kehidupan imannya secara individu saja.
·         Aktif dalam kehidupan mengumat, menggunakan segala karisma, karunia dan fungsi yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan dan misi Gereja di tengah masyarakat. Semua bertanggung jawab dalam hidup dan misi Gereja.

c.       Konsekuensi bagi Hubungan Awam dan Hierarki
·         Paham Gereja sebagai Umat Allah jelas membawa konsekuensi dalam hubungan antara hierarki dan kaum awam. Kaum awam bukan lagi pelengkap penyerta, melainkan partner hierarki.
·         Awam dan hierarki memiliki martabat yang sama, hanyaberbeda dalam hal fungsi.


04 Agustus 2021

AKU CITRA ALLAH YANG UNIK

 Pengertian kata “Citra” 

Kata “Citra” dapat diartikan sebagai gambaran (image) yang menunjuk pada  identitas atau ciri seseorang atau kelompok. 

Kata “Citra” biasanya juga dikaitkan dengan suatu nilai yang dianggap ideal  dan baik, dan umumnya terkait erat dengan tindakan, sifat atau karakter  seseorang. 

Istilah “Citra” juga mempunyai makna keserupaan, gambaran atau kemiripan  antara seseorang atau kelompok yang dicitrakannya. 

Istilah “Citra” merupakan perpaduan arti dari kata-kata “Gambar” dan “Rupa” 

Allah menciptakan segala sesuatu, termasuk manusia baik adanya. Manusia menjadi  ciptaan yang termulia dari segala makhluk hidup. Dunia beserta isinya diserahkan  kepada manusia. Karena akal-budinya, manusia tidak hanya mampu  mempertahankan hidupnya dan mempertahankan jenisnya, tetapi juga mampu  memperkembangkan dan dan meningkatkan mutu hidupnya. 

Manusia tidak hanya mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tetapi dapat  mengolah dan mengatur, merubah dan menguasai lingkungannya, serta menguasai  dan memanfaatkan ciptaan-ciptaan lainnya.  

Dalam hal inilah manusia merupakan “ Citra Allah”.  

Kata “Citra Allah” terungkap dalam Kitab Kejadian. Kisah penciptaan manusia dalam  Kitab Kejadian memakai 2 iastilah yang saling melengkapi dan saling memperbaiki  yaitu: 

Istilah “GAMBAR” (Bahasa Ibrani: Salem

Istilah “RUPA” (Bahasa Ibrani: Demuth

Manusia diciptakan sebagai “Citra Allah” artinya: Manusia diciptakan Allah  menurut Gambar dan Rupa Allah sendiri (Kejadian 1: 26-27). 

Kata “segambar “ dan “serupa” sekaligus melukiskan secara tepat bahwa manusia  dan Allah berbeda.. 

Sejauh terluliskan dalam Kitab Suci, istilah “Citra Allah” itu hanya dikatakan pada  manusia, dan tidak dikenakan kepada ciptaan Tuhan lainnya. Hanya manusialah  yang disebut “Citra Allah”. 

Karena manusia diciptakan sebagai “Citra Allah”, manusia memiliki martabat  sebagai pribadi artinya adalah: 

Manusia bukan hanya sesuatu, melainkan seseorang 

Manusia mengenal dirinya sendiri dan menjadi tuan atas dirinya sendiri. Manusia mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan  dengan orang lain 

Manusia dipanggil untuk membangun relasi dengan Allah, PenciptaNya.

Manusia diciptakan sebagai “Citra Allah” mempunyai arti yang mendalam yaitu: Allah menciptakan manusia seperti Dia sehingga dapat berdialog dengan Dia 

Manusia dijadikan partner, sahabat dab rekan kerja Allah didunia yang dapat  disapa dan menjawab. 

Manusia direncanakan untuk terus berhubungan dan bersatu dengan Allah,  sehingga seluruh umat manusia mempunyai tujuan yang sama yaitu: Bersatu  dengan Allah” 

Sebagai “Citra Allah”, Allah telah memberikan karunia khusus berupa: Akal budi 

Kebebasan 

Hatu Nurani 

Karunia atau kemampuan-kemampuan dasar itulah yang membedakan antara  manusia dan ciptaan Tuhan lainnya. 

Manusia adalah ciptaan Allah yang bermartabat luhur, siapapun orangnya, ia adalah  Citra Allah, yang serupa dan segambar dengan Allah dan ia menjadi wakil Allah  didunia ini. 

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang bersifat rohani-jasmani. Maka tujuan  hidup manusia tidak hanya terbatas pada kebutuhab hu\idup materiil atau biologis  saja, melainkan terarah kepada yang lebih luhur dan mulia yaitu Kesempurnaan,  keindahan dan kebahagiaan. 

Sebagai makhluk yang berakal budi, manusia tidak hanya mempunyai dorongan dorongan dasar seperti makhluk-makhluk lainnya, tetapi juga mempunyai dorongan  yang lebih luhur yaitu: 

Dorongan untuk menaklukan dan menguasai alam 

Dorongan untuk membangun hidup bersama yang lebih baik 

Dorongan untuk memberikan sesuatu dari dirinya sendiri kepada orang lain Dorongan untuk membahagiakan orang lain (inilah yang kita sebut dengan  Cinta Kasih

Dalam hal-hal tersebut, manusia mampu mengekspresikan diri dengan kesadaran  jasmani dan rohani serta berbeda dari ciptaan allah yang lain. 

Allah menciptakan manusia, pria dan wanita. Pria dengan segala sifat dan bakatnya  lebih mencerminkan daya-cipta Allah. Sedangkan wanita dengan kelembutan,  keindahan dan kasih sayangnya, memancarkan daya cinta Allah. Hanya melalui  mereka berdua itulah Allah menciptakan mujizatNya yang paling indah yaitu hidup  yang baru. 

Mereka saling melengkapi, membahagiakan dan saling mencinta. Kehendak Allah  yang mencipta segala sesuatu dan baik adanya tercermin dalam Kitab Kejadian 1:26- 2:17.


Materi Agama Katolik

SANTO AMBROSIUS, USKUP DAN PUJANGGA GEREJA

Santo Ambrosius, Uskup dan Pujangga Gereja Tanggal Pesta: 7 Desember Ambrosius lahir pada tahun 334 di Trier, Jerman dari sebuah keluarga Kr...