Materi Agama Katolik

KISI-KISI PAK ASAS GANJIL KELAS XI 2024

Gambar
    KISI-KISI ASAS PAK SEMESTER GANJIL 2024 =========================================================== Pengertian Gereja. Peristiwa yang menunjukkan lahirnya  Gereja pertama kali. Kepada siapa saja Gereja mewartakan injil. Ciri khas hidup Jemaat Kristen Perdana. Akibat dari pandangan Sebelum Konsili Vatikan II, Gereja Katolik berkeyakinan bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan (Extra Ecclesiam Nula Salus). Disajikan 2 gambar model Gereja. Menentukan Model Gereja berdasarkan 2  gambar tersebut. Ciri-ciri Gereja sebelum Konsili Vatikan II Tahun Konsili Vatikan ke II berlangsung Nama Paus Penggagas Konsili Vatikan  II Perwujudan Gereja sebagai  persekutuan terbuka Kedudukan hirarki dan kaum awam dalam Gerja Persekutuan terbuka 2 hal penting yang ditekankan Gereja sebagai Umat Allah (essay) 4 pemahaman tentang Gereja sebagai Umat Allah! (essay) 4 ha...

PERKAWINAN DALAM TRADISI KATOLIK

 

BEBERAPA PANDANGAN DALAM MASYARAKAT TENTANG PERKAWINAN

1    1. Menurut Peraturan perundang-undangan

Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur batin/rohani.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 1 UU berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungan dengan keturunan, yang merupakan tujuan perkawinan. Pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.

2. Pandangan tradisional

Dalam masyarakat tradisional perkawinan pada umumnya masih merupakan suatu ”ikatan”,     yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat kaum kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat si wanita dalam suatu hubungan tertentu. Perkawinan tradisional ini umumnya merupakan suatu proses, mulai dari saat lamaran, lalu memberi mas kawin (belis), kemudian peneguhan, dan seterusnya

3. Pandangan hukum (yuridis)

Dari segi hukum perkawinan sering dipandang sebagai suatu ”perjanjian”. Dengan  

Perkawinan, seorang pria dan seorang wanita saling berjanji untuk hidup bersama, di depan masyarakat agama atau masyarakat negara, yang menerima dan mengakui perkawinan itu sebagai sah.

4.  Pandangan sosiologi

Secara sosiologi, perkawinan merupakan suatu ”persekutuan hidup” yang mempunyai bentuk, tujuan, dan hubungan yang khusus antaranggota. Ia merupakan suatu lingkungan hidup yang khas. Dalam lingkungan hidup ini, suami dan istri dapat mencapai kesempurnaan atau kepenuhannya sebagai manusia, sebagai bapak dan sebagai ibu.

5. Pandangan Antropologis

 Perkawinan dapat pula dilihat sebagai suatu ”persekutuan cinta”. Pada umumnya, hidup perkawinan dimulai dengan cinta. Ia ada dan akan berkembang atas dasar cinta. Seluruh kehidupan bersama sebagai suami-istri didasarkan dan diresapi seluruhnya oleh cinta.

Makna Perkawinan

a.      Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik (Kan 1055 )

 Perkawinan sebagai perjanjian; Gagasan perkawinan sebagai perjanjian ini bersumber pada Konsili Vatikan II (GS 48), yang pada gilirannya menimba aspirasi dari Kitab Suci.

Perkawinan sebagai perjanjian menunjuk segi-segi simbolik dari hubungan antara Tuhan dan umatnya dalam Perjanjian Lama (Yahwe dan Israel) dan Perjanjian Baru (Kristus dengan Gereja- Nya). Tetapi dengan perjanjian ingin diungkapkan pula dimensi personal dari hubungan suami-istri, yang mulai sangat ditekankan pada abad modern ini

3) Perkawinan sebagai kebersamaan seluruh hidup dari pria dan wanita; Kebersamaan seluruh hidup tidak hanya dilihat secara kuantitatif (lamanya waktu) tetapi juga kualitatif (intensitasnya). Kebersamaan seluruh hidup harus muncul utuh dalam segala aspeknya, apalagi kalau dikaitkan dengan cinta kasih

4) Perkawinan sebagai sakramen; Hal ini merupakan unsur hakiki perkawinan antara dua orang yang dibaptis. Perkawinan pria dan wanita menjadi tanda cinta Allah kepada ciptaan-Nya dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya

PERKAWINAN MENURUT AJARAN KONSILI VATIKAN II

Dalam Gaudiumet Spes, no.48 dijelaskan bahwa “perkawinan merupakan kesatuan mesra dalam hidup dan kasih antara pria dan wanita, yang merupakan lembaga tetap yang berhadapan dengan masyarakat”.

    Tanpa pengakuan sebagai lembaga, perkawinan semacam “hidup bersama” yang dipandang oleh masyarakat sebagai liar (kumpul kebo). Perlu dilihat pula bahwa perkawinan menurut maksud dan intinya merupakan kesatuan hidup dari dua pribadi. Tidak ada perkawinan tanpa kebebasan yang ingin membangun kesatuan hidup itu. Perkawinan terwujud dengan persetujuan antara seorang pria dan wanita yang diungkap secara bebas, untuk membagi hidup satu sama lain. Persetujuan itu mesti dinyatakan secara publik, artinya di hadapan saksi-saksi yang resmi diakui dan menurut aturan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat.

TUJUAN PERKAWINAN

a.      Kesejahteraan lahir-batin suami-istri

1) Tujuan perkawinan ialah untuk saling mensejahterakan suami dan istri secara bersama-sama (hakikat sosial perkawinan) dan bukan kesejahteraan pribadi salah satu pasangan. Karena ada bahaya bahwa ada pasangan yang diperalat untuk memperoleh kesejahteraan materil. Kitab Suci berkata: “Tidaklah baik, bahwa manusia sendiri saja. Kami hendak mengadakan seorang pendamping untuk menjadi teman hidupnya... Lalu Allah mengambil sebuah tulang rusuk Adam dan membentuknya menjadi seorang wanita.Maka pria akan meninggalkan ibu-bapaknya untuk mengikat diri pada istrinya dan mereka akan menjadi satu jiwa-raganya” (Kej 2:18-25).

  Kesejahteraan lahir batin anak-anak

1)   Gereja selama berabad-abad mengajar, bahwa tujuan pokok perkawinan adalah melahirkan anak. Baru pada abad kita ini, menjelang Konsili Vatikan II, orang mulai bertanya-tanya lagi mengenai hakikat perkawinan.

Apabila tujuan utama perkawinan adalah anak, apakah ayah ibu hidup semata-mata untuk anak? Bagaimana kalau tujuan perkawinan itu untuk mendapatkan keturunan tak dapat dipenuhi, misalnya karena pasangan itu mandul? Kita tahu bahwa Gereja Katolik berpandangan walaupun pasangan itu tidak subur, namun mereka tetaplah suami-istri yang sah, dan perkawinan mereka lengkap, penuh arti dan diberkahi Tuhan! Dalam dokumendokumen sesudah Konsili Vatikan II Gereja tidak lagi terlalu mutlak mengatakan bahwa keturunan sebagai tujuan paling pokok dan utama.

Pemenuhan tujuan pernikahan tidak berhenti pada lahirnya anak, melainkan anak harus dilahirkan kembali dalam permandian dan pendidikan kristiani, entah itu intelektual, moral, keagamaan,hidup sakramental, dan lain-lain

SIFAT PERKAWINAN

A. Monogam

1)    Salah satu perwujudan dan kesetiaan Kristen dalam perkawinan ialah bahwa perkawinan yang bersifat monogam. Dalam perkawinan Kristen ditolak poligami dan poliandri. Dalam perkawinan Kristen suami mesti menyerahkan diri seutuh-utuhnya kepada istrinya; dan sebaliknya istri pun harus menyerahkan dirinya secara utuh kepada suaminya. Tidak boleh terbagi kepada pribadi-pribadi lain lagi. Hanya satu untuk satu sampai kematian memisahkan mereka. Yesus tegaskan “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan dua lagi, melainkan satu” (Mat19:15). Inilah persatuan dan cinta yag sungguh menyeluruh, tak terbagi dan total sifatnya

2)  Dalam perkawinan Kristen yang diserahkan bukan suatu hak, bukan pula badan saja, juga bukan hanya tenaga dan waktu, melainkan seluruh pribadi demi menata masa depannya.

B. Tak Terceraikan

1)  Perkawinan Kristen bukan saja monogam, tetapi juga tak dapat diceraikan. Perkawinan Kristen bersifat tetap, hanya maut yang dapat memisahkan keduanya. Kita tidak dapat menikahi seseorang untuk jangka waktu tertentu, kemudian bercerai untuk menikah lagi dengan orang lain. Perkawinan Kristen menuntut cinta yang personil, total, dan permanen. Suatu cinta tanpa syarat. Suatu pernikahan dengan jangka waktu dan syarat-syarat terbatas tidak mencerminkan cinta yang personil, total dan permanen itu. (Baca:Mrk 10:2-12; Lk 16:18).

2) Untuk memberikan landasan yang kuat, dalam janji pernikahan setiap calon mempelai dihadapan Tuhan mengikrarkan kesetiaan mereka kepada satu sama lain sampai maut memisahkan mereka. Suami dan istri dipilih Tuhan untuk menjadi suatu sakramen satu bagi yang lain. Jadi, mereka diangkat menjadi tanda kehadiran Kristus yang selalu menguduskan, menguatkan dan menghibur tanpa memasang syarat apapun. Kristus sendiri dengan setia menyertai dan menolong suami dan istri, maka pasangan sanggup untuk setia satu terhadap yang lain. Sifat sakramentil perkawinan Kristen itulah yang membuat perkawinan kokoh dan tak terceraikan.

 

PERKAWINAN CAMPUR (BEDA GEREJA & BEDA AGAMA)

Problem Perkawinan Campur

Alasan terjadinya perkawinan campur antara lain sebagai berikut:

1.    Jumlah umat yang terbatas pada suatu tempat sehingga muda-mudi Katolik sulit bertemu dengan teman seiman.

2.    Perkembangan usia, terutama untuk wanita. Jika usia sudah beranjak tua maka simpati dan lamaran dari mana saja akan lebih gampang diterima

3.    Karakter, status sosial, dan jaminan sosial ekonomi. Seseorang yang mempunyai karakter atau status sosial dan jaminan sosial ekonomi yang baik akan lebih gampang diterima. Pertimbangan segi iman tidak lagi menjadi terlalu dominan.

4.    Pergaulan sudah terlalu jauh sehingga harus dilanjutkan.

Akibat Perkawinan campur:

1.    Iman suami atau istri bisa terguncang

2.    Pendidikan anak mungkin tak menentu

3.    Banyak persoalan keluarga tidak bisa dipecahkan karena keyakinan yang berbeda

Perkawinan Campur Beda Agama

Dalam hukum Gereja Katolik perkawinan campur dapat berarti sebagai berikut.

1.    Perkawinan antara seorang Kristen – Katolik dan seorang yang berbeda agama. Jadi, perkawinan antara seorang yang dibaptis dan orang yang tidak dibaptis atau penganut agama lain.

2.    Perkawinan dua orang Kristen yang berbeda Gereja. Misalnya  antara orang Katolik dan orang Protestan atau Gereja-gereja Kristen Lainnya. Kedua-duanya telah dibaptis

Pandangan Katolik dan Islam tentang perkawinan Campur

Pandangan Katolik

Agama Katolik tidak mutlak melarang perkawinan campur antara orang Katolik dan orang yang berbeda agama, tetapi juga tidak menganjurkannya. Perkawinan campur beda agama memerlukan dispensasi dari Gereja supaya sah. Dispensasi ini diberikan dengan persyaratan sebagai berikut:

Pernyataan tekad pihak Katolik untuk menjauhkan bahaya meninggalkan imannya dan berjanji untuk sekuat tenaga mengusahakan pembaptisan dan pendidikan anak-anak yang akan lahir secara Katolik.

Pihak bukan Katolik harus diberitahu mengenai janji pihak Katolik tersebut supaya sebelum menikah ia sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik.

Penjelasan kepada kedua belah pihak tentang tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan yang tidak boleh disangkal agar perkawinan itu menjadi sah.

Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam perkawinan campur sulit dilakukan, bahkan tidak mungkin dilaksanakan.

Seorang pria Islam hanya akan menikah secara sah dengan wanita non-Islam, jika  wanita itu memeluk agama yang memiliki Kitab Suci (Kristen, Yahudi) dan pernikahan itu dilakukan secara Islam, di depan wali nikah (wanita itu dapat tetap memeluk agamanya). Tanpa adanya wali nikah untuk pihak wanita, perkawinan itu dianggap tidak sah secara Islam (Islam tidak mengenal lembaga dispensasi). Dengan demikian, menurut pandangan Islam, pernikahan yang dilakasanakan secara Katolik tidak sah dan hal itu juga berarti bahwa pria Islam itu hidup dalam percabulan yang berkepanjangan dengan istrinya yang Kristen/Katolik.

Seorang wanita Islam tidak boleh menikah dengan pria yang bukan Islam. Pria pemeluk agama lain yang akan menikah dengannya harus meninggalkan agamanya dan memeluk agama Islam.

Baik perkawinan campur maupun perkawinan yang biasa secara Islam dapat diceraikan dengan alasan-alasan yang sah.

Perkawinan Campur Beda Gereja

Menurut  teologi Kristen Protestan, suatu perkawinan adalah sah jika tekad nikah diungkapakan secara umum sehingga upacara di Gereja hanya merupakan pemberian berkat dan pesan. Perkawinan bukan suatu sakramen. Sementara, menurut keyakinan Katolik, jika salah satu diantara kedua mempelai dibaptis di Gereja Katolik maka peneguhan Gerejanilah yang diperlukan supaya perkawinan itu sah. Perkawinan adalah suatu sakramen.

Perkawinan campur antara dua orang Kristen,yaitu perkawinan orang Katolik dan orang Kristen bukan Katolik (perkawinan beda Gereja atau mixta religio) dilarang, jika dilakukan tanpa dispensasi. Meskipun demikian,”perbedaan Gereja” bukan merupakan halangan yang menggagalkan perkawinan.

“Tanpa ijin yang tegas dari yang berwewenang, dilarang perkawinan antara dua orang yang sudah dibaptis, yang diantaranya satu baptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya setelah Pembaptisan dan tidak meninggalkan secara resmi, sedangkan pihak lain tercatat pada Gereja atau persekutuan Gerejani yang tidak bersatu penuh dengan Gereja Katolik” (KHK 1124).

Izin yang dituntut oleh kanon ini dapat diberikan oleh uskup setempat, jika ada alasan yang wajar dan masuk akal. Namun, ia hanya boleh memberikan izin itu, jika syarat-syarat berikut ini terpenuhi.

Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan imannya dan berjanji dengan jujur bahwa ia akan berusaha sekuat tenaga agar semua ananknya dibaptis dan dididik di Gereja Katolik.

Mengenai janji yang wajib dibuat pihak Katolik itu, pihak lain hendaknya diberitahu pada waktunya dan sedemikian rupa, sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik.

Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan dan sifat hakiki perkawinan, yang tidak boleh ditiadakan oleh pihak manapun (KHK 1125)

Pihak Katolik terikat pada tata peneguhan perkawinan, yaitu perkawinan di hadapan uskup dan pastor paroki (atau imam maupun diakon yang diberi delegasi yang sah dan dihadapan dua orang saksi). Akan tetapi, jika ada alasan yang berat, uskup berhak memberikan dispensasi dari tata peneguhan itu (lih.KHK 1127 & 1 dan 2). Jadi peneguhan nikah dapat dilaksanakan di depan pendeta atau pegawai catatan sipil asal mendapat dispensasi dari uskup. Pihak Katolik wajib memohon dispensasi ini jauh sebelum peresmian perkawinan, bukan baru pada saat penyelidikan kanonik.

Karena menurut pandangan Kristen upacara di Gereja hanya merupakan berkat, sedangkan menurut pandangan Katolik merupakan peneguhan yang membuat perkawinan itu sah maka dalam perkawinan ekumenis disarankan supaya pendeta membawakan firman dan pastor memimpin peneguhan atau kesepakatan nikah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKU CITRA ALLAH YANG UNIK

MATERI AGAMA KELAS VII BAB I MANUSIA CITRA ALLAH

LATIHAN SOAL AGAMA KELAS XI TEMA: GEREJA DAN DUNIA