Materi Agama Katolik
PERKAWINAN DALAM TRADISI KATOLIK
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
BEBERAPA PANDANGAN DALAM MASYARAKAT TENTANG PERKAWINAN
1 1. Menurut Peraturan perundang-undangan
Sebagai Negara yang
berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa,
maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian,
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur
batin/rohani.
Undang-Undang No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan, pasal 1 UU berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan
lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Membentuk keluarga yang
bahagia erat hubungan dengan keturunan, yang merupakan tujuan perkawinan.
Pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.
2. Pandangan tradisional
Dalam masyarakat tradisional
perkawinan pada umumnya masih merupakan suatu ”ikatan”, yang tidak hanya mengikat seorang
laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat kaum kerabat si laki-laki
dengan kaum kerabat si wanita dalam suatu hubungan tertentu. Perkawinan
tradisional ini umumnya merupakan suatu proses, mulai dari saat lamaran, lalu
memberi mas kawin (belis), kemudian peneguhan, dan seterusnya
3. Pandangan hukum (yuridis)
Dari segi hukum perkawinan
sering dipandang sebagai suatu ”perjanjian”. Dengan
Perkawinan, seorang pria dan
seorang wanita saling berjanji untuk hidup bersama, di depan masyarakat agama
atau masyarakat negara, yang menerima dan mengakui perkawinan itu sebagai sah.
4. Pandangan sosiologi
Secara sosiologi, perkawinan
merupakan suatu ”persekutuan hidup” yang mempunyai bentuk, tujuan, dan hubungan
yang khusus antaranggota. Ia merupakan suatu lingkungan hidup yang khas. Dalam
lingkungan hidup ini, suami dan istri dapat mencapai kesempurnaan atau
kepenuhannya sebagai manusia, sebagai bapak dan sebagai ibu.
5. Pandangan Antropologis
Perkawinan dapat pula dilihat sebagai suatu
”persekutuan cinta”. Pada umumnya, hidup perkawinan dimulai dengan cinta. Ia
ada dan akan berkembang atas dasar cinta. Seluruh kehidupan bersama sebagai
suami-istri didasarkan dan diresapi seluruhnya oleh cinta.
Makna Perkawinan
a. Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik
(Kan 1055 )
Perkawinan sebagai perjanjian; Gagasan
perkawinan sebagai perjanjian ini bersumber pada Konsili Vatikan II (GS 48),
yang pada gilirannya menimba aspirasi dari Kitab Suci.
Perkawinan sebagai
perjanjian menunjuk segi-segi simbolik dari hubungan antara Tuhan dan umatnya
dalam Perjanjian Lama (Yahwe dan Israel) dan Perjanjian Baru (Kristus dengan
Gereja- Nya). Tetapi dengan perjanjian ingin diungkapkan pula dimensi personal
dari hubungan suami-istri, yang mulai sangat ditekankan pada abad modern ini
3) Perkawinan sebagai
kebersamaan seluruh hidup dari pria dan wanita; Kebersamaan seluruh hidup tidak
hanya dilihat secara kuantitatif (lamanya waktu) tetapi juga kualitatif
(intensitasnya). Kebersamaan seluruh hidup harus muncul utuh dalam segala
aspeknya, apalagi kalau dikaitkan dengan cinta kasih
4) Perkawinan sebagai
sakramen; Hal ini merupakan unsur hakiki perkawinan antara dua orang yang
dibaptis. Perkawinan pria dan wanita menjadi tanda cinta Allah kepada
ciptaan-Nya dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya
PERKAWINAN MENURUT AJARAN KONSILI VATIKAN
II
Dalam Gaudiumet Spes, no.48
dijelaskan bahwa “perkawinan merupakan kesatuan mesra dalam hidup dan kasih
antara pria dan wanita, yang merupakan lembaga tetap yang berhadapan dengan
masyarakat”.
Tanpa pengakuan sebagai lembaga, perkawinan
semacam “hidup bersama” yang dipandang oleh masyarakat sebagai liar (kumpul
kebo). Perlu dilihat pula bahwa perkawinan menurut maksud dan intinya merupakan
kesatuan hidup dari dua pribadi. Tidak ada perkawinan tanpa kebebasan yang
ingin membangun kesatuan hidup itu. Perkawinan terwujud dengan persetujuan
antara seorang pria dan wanita yang diungkap secara bebas, untuk membagi hidup
satu sama lain. Persetujuan itu mesti dinyatakan secara publik, artinya di
hadapan saksi-saksi yang resmi diakui dan menurut aturan yang berlaku dalam
lingkungan masyarakat.
TUJUAN PERKAWINAN
a. Kesejahteraan lahir-batin suami-istri
1) Tujuan perkawinan ialah
untuk saling mensejahterakan suami dan istri secara bersama-sama (hakikat
sosial perkawinan) dan bukan kesejahteraan pribadi salah satu pasangan. Karena
ada bahaya bahwa ada pasangan yang diperalat untuk memperoleh kesejahteraan
materil. Kitab Suci berkata: “Tidaklah baik, bahwa manusia sendiri saja. Kami
hendak mengadakan seorang pendamping untuk menjadi teman hidupnya... Lalu Allah
mengambil sebuah tulang rusuk Adam dan membentuknya menjadi seorang wanita.Maka
pria akan meninggalkan ibu-bapaknya untuk mengikat diri pada istrinya dan
mereka akan menjadi satu jiwa-raganya” (Kej 2:18-25).
Kesejahteraan lahir batin anak-anak
1) Gereja selama berabad-abad mengajar, bahwa
tujuan pokok perkawinan adalah melahirkan anak. Baru pada abad kita ini,
menjelang Konsili Vatikan II, orang mulai bertanya-tanya lagi mengenai hakikat
perkawinan.
Apabila tujuan utama
perkawinan adalah anak, apakah ayah ibu hidup semata-mata untuk anak? Bagaimana
kalau tujuan perkawinan itu untuk mendapatkan keturunan tak dapat dipenuhi,
misalnya karena pasangan itu mandul? Kita tahu bahwa Gereja Katolik
berpandangan walaupun pasangan itu tidak subur, namun mereka tetaplah
suami-istri yang sah, dan perkawinan mereka lengkap, penuh arti dan diberkahi
Tuhan! Dalam dokumendokumen sesudah Konsili Vatikan II Gereja tidak lagi
terlalu mutlak mengatakan bahwa keturunan sebagai tujuan paling pokok dan
utama.
Pemenuhan tujuan pernikahan
tidak berhenti pada lahirnya anak, melainkan anak harus dilahirkan kembali
dalam permandian dan pendidikan kristiani, entah itu intelektual, moral,
keagamaan,hidup sakramental, dan lain-lain
SIFAT PERKAWINAN
A. Monogam
1) Salah satu perwujudan dan kesetiaan Kristen
dalam perkawinan ialah bahwa perkawinan yang bersifat monogam. Dalam perkawinan
Kristen ditolak poligami dan poliandri. Dalam perkawinan Kristen suami mesti
menyerahkan diri seutuh-utuhnya kepada istrinya; dan sebaliknya istri pun harus
menyerahkan dirinya secara utuh kepada suaminya. Tidak boleh terbagi kepada
pribadi-pribadi lain lagi. Hanya satu untuk satu sampai kematian memisahkan
mereka. Yesus tegaskan “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya
dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah
mereka bukan dua lagi, melainkan satu” (Mat19:15). Inilah persatuan dan cinta
yag sungguh menyeluruh, tak terbagi dan total sifatnya
2) Dalam perkawinan Kristen yang diserahkan
bukan suatu hak, bukan pula badan saja, juga bukan hanya tenaga dan waktu,
melainkan seluruh pribadi demi menata masa depannya.
B. Tak Terceraikan
1) Perkawinan Kristen bukan saja monogam, tetapi
juga tak dapat diceraikan. Perkawinan Kristen bersifat tetap, hanya maut yang
dapat memisahkan keduanya. Kita tidak dapat menikahi seseorang untuk jangka
waktu tertentu, kemudian bercerai untuk menikah lagi dengan orang lain.
Perkawinan Kristen menuntut cinta yang personil, total, dan permanen. Suatu
cinta tanpa syarat. Suatu pernikahan dengan jangka waktu dan syarat-syarat
terbatas tidak mencerminkan cinta yang personil, total dan permanen itu.
(Baca:Mrk 10:2-12; Lk 16:18).
2) Untuk memberikan landasan
yang kuat, dalam janji pernikahan setiap calon mempelai dihadapan Tuhan
mengikrarkan kesetiaan mereka kepada satu sama lain sampai maut memisahkan
mereka. Suami dan istri dipilih Tuhan untuk menjadi suatu sakramen satu bagi
yang lain. Jadi, mereka diangkat menjadi tanda kehadiran Kristus yang selalu
menguduskan, menguatkan dan menghibur tanpa memasang syarat apapun. Kristus
sendiri dengan setia menyertai dan menolong suami dan istri, maka pasangan
sanggup untuk setia satu terhadap yang lain. Sifat sakramentil perkawinan
Kristen itulah yang membuat perkawinan kokoh dan tak terceraikan.
PERKAWINAN CAMPUR (BEDA
GEREJA & BEDA AGAMA)
Problem Perkawinan Campur
Alasan terjadinya perkawinan
campur antara lain sebagai berikut:
1.
Jumlah umat yang terbatas pada suatu tempat
sehingga muda-mudi Katolik sulit bertemu dengan teman seiman.
2.
Perkembangan usia, terutama untuk wanita.
Jika usia sudah beranjak tua maka simpati dan lamaran dari mana saja akan lebih
gampang diterima
3.
Karakter, status sosial, dan jaminan sosial
ekonomi. Seseorang yang mempunyai karakter atau status sosial dan jaminan
sosial ekonomi yang baik akan lebih gampang diterima. Pertimbangan segi iman
tidak lagi menjadi terlalu dominan.
4.
Pergaulan sudah terlalu jauh sehingga harus
dilanjutkan.
Akibat Perkawinan campur:
1.
Iman suami atau istri bisa terguncang
2.
Pendidikan anak mungkin tak menentu
3.
Banyak persoalan keluarga tidak bisa
dipecahkan karena keyakinan yang berbeda
Perkawinan Campur Beda Agama
Dalam hukum Gereja Katolik
perkawinan campur dapat berarti sebagai berikut.
1.
Perkawinan antara seorang Kristen – Katolik
dan seorang yang berbeda agama. Jadi, perkawinan antara seorang yang dibaptis
dan orang yang tidak dibaptis atau penganut agama lain.
2.
Perkawinan dua orang Kristen yang berbeda
Gereja. Misalnya antara orang Katolik
dan orang Protestan atau Gereja-gereja Kristen Lainnya. Kedua-duanya telah
dibaptis
Pandangan Katolik dan Islam
tentang perkawinan Campur
Pandangan Katolik
Agama Katolik tidak mutlak
melarang perkawinan campur antara orang Katolik dan orang yang berbeda agama,
tetapi juga tidak menganjurkannya. Perkawinan campur beda agama memerlukan
dispensasi dari Gereja supaya sah. Dispensasi ini diberikan dengan persyaratan
sebagai berikut:
Pernyataan tekad pihak Katolik
untuk menjauhkan bahaya meninggalkan imannya dan berjanji untuk sekuat tenaga
mengusahakan pembaptisan dan pendidikan anak-anak yang akan lahir secara
Katolik.
Pihak bukan Katolik harus
diberitahu mengenai janji pihak Katolik tersebut supaya sebelum menikah ia
sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik.
Penjelasan kepada kedua
belah pihak tentang tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan yang tidak boleh
disangkal agar perkawinan itu menjadi sah.
Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam
perkawinan campur sulit dilakukan, bahkan tidak mungkin dilaksanakan.
Seorang pria Islam hanya
akan menikah secara sah dengan wanita non-Islam, jika wanita itu memeluk agama yang memiliki Kitab
Suci (Kristen, Yahudi) dan pernikahan itu dilakukan secara Islam, di depan wali
nikah (wanita itu dapat tetap memeluk agamanya). Tanpa adanya wali nikah untuk
pihak wanita, perkawinan itu dianggap tidak sah secara Islam (Islam tidak
mengenal lembaga dispensasi). Dengan demikian, menurut pandangan Islam,
pernikahan yang dilakasanakan secara Katolik tidak sah dan hal itu juga berarti
bahwa pria Islam itu hidup dalam percabulan yang berkepanjangan dengan istrinya
yang Kristen/Katolik.
Seorang wanita Islam tidak
boleh menikah dengan pria yang bukan Islam. Pria pemeluk agama lain yang akan
menikah dengannya harus meninggalkan agamanya dan memeluk agama Islam.
Baik perkawinan campur
maupun perkawinan yang biasa secara Islam dapat diceraikan dengan alasan-alasan
yang sah.
Perkawinan Campur Beda
Gereja
Menurut teologi Kristen Protestan, suatu perkawinan
adalah sah jika tekad nikah diungkapakan secara umum sehingga upacara di Gereja
hanya merupakan pemberian berkat dan pesan. Perkawinan bukan suatu sakramen.
Sementara, menurut keyakinan Katolik, jika salah satu diantara kedua mempelai
dibaptis di Gereja Katolik maka peneguhan Gerejanilah yang diperlukan supaya
perkawinan itu sah. Perkawinan adalah suatu sakramen.
Perkawinan campur antara dua
orang Kristen,yaitu perkawinan orang Katolik dan orang Kristen bukan Katolik
(perkawinan beda Gereja atau mixta religio) dilarang, jika dilakukan tanpa
dispensasi. Meskipun demikian,”perbedaan Gereja” bukan merupakan halangan yang
menggagalkan perkawinan.
“Tanpa ijin yang tegas dari
yang berwewenang, dilarang perkawinan antara dua orang yang sudah dibaptis,
yang diantaranya satu baptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya
setelah Pembaptisan dan tidak meninggalkan secara resmi, sedangkan pihak lain
tercatat pada Gereja atau persekutuan Gerejani yang tidak bersatu penuh dengan
Gereja Katolik” (KHK 1124).
Izin yang dituntut oleh
kanon ini dapat diberikan oleh uskup setempat, jika ada alasan yang wajar dan
masuk akal. Namun, ia hanya boleh memberikan izin itu, jika syarat-syarat
berikut ini terpenuhi.
Pihak Katolik menyatakan
bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan imannya dan berjanji dengan jujur bahwa
ia akan berusaha sekuat tenaga agar semua ananknya dibaptis dan dididik di
Gereja Katolik.
Mengenai janji yang wajib
dibuat pihak Katolik itu, pihak lain hendaknya diberitahu pada waktunya dan sedemikian
rupa, sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak
Katolik.
Kedua pihak hendaknya diberi
penjelasan mengenai tujuan dan sifat hakiki perkawinan, yang tidak boleh
ditiadakan oleh pihak manapun (KHK 1125)
Pihak Katolik terikat pada
tata peneguhan perkawinan, yaitu perkawinan di hadapan uskup dan pastor paroki
(atau imam maupun diakon yang diberi delegasi yang sah dan dihadapan dua orang
saksi). Akan tetapi, jika ada alasan yang berat, uskup berhak memberikan
dispensasi dari tata peneguhan itu (lih.KHK 1127 & 1 dan 2). Jadi peneguhan
nikah dapat dilaksanakan di depan pendeta atau pegawai catatan sipil asal
mendapat dispensasi dari uskup. Pihak Katolik wajib memohon dispensasi ini jauh
sebelum peresmian perkawinan, bukan baru pada saat penyelidikan kanonik.
Karena menurut pandangan
Kristen upacara di Gereja hanya merupakan berkat, sedangkan menurut pandangan
Katolik merupakan peneguhan yang membuat perkawinan itu sah maka dalam
perkawinan ekumenis disarankan supaya pendeta membawakan firman dan pastor
memimpin peneguhan atau kesepakatan nikah.
Komentar
Posting Komentar