Materi Agama Katolik
SIFAT-SIFAT GEREJA
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Pengantar
Syahadat
iman Gereja Katolik dirumuskan dalam doa kredo (credere = percaya). Ada dua
rumusan kredo yaitu rumusan pendek dan rumusan panjang. Syahadat rumusan pendek
disebut Syahadat Para Rasul karena menurut tradisi syahadat ini disusun oleh
para rasul. Yang panjang disebut Syahadat Nikea yang disahkan dalam Konsili
Nikea (325) yang menekankan keilahian Yesus. Dikemudian hari lazim disebut
sebagai Syadat Nikea-Konstantinopel karena berhubungan dengan Konsili
Konstantinopel I (381). Pada Konsili ini ditekankan keilahian Roh Kudus yang
harus disembah dan dimuliakan bersama Bapa dan Putera.Syahadat inilah yang
lebih banyak digunakan dalam liturgi-liturgi Gereja Katolik. Di dalam rumusan
syahadat panjang itu pada bagian akhir dinyatakan keempat sifat atau ciri
Gereja Katolik : satu, kudus, katolik dan apostolik.
1. Gereja itu
“satu” karena Roh Kudus yang mempersatukan para anggota jemaat satu sama lain
dengan para kepala atau pimpinan jemaat (uskup) baik partikular maupun
universal (Paus) yang berkedudukan di Vatikan.
Katekismus
Gereja Katolik (KGK) menjelaskan bahwa Gereja itu satu, karena tiga alasan.
Pertama, Gereja itu satu menurut asalnya, yang adalah Tritunggal Mahakudus,
kesatuan Allah tunggal dalam tiga Pribadi – Bapa, Putra dan Roh Kudus. Kedua,
Gereja itu satu menurut pendiri-Nya, Yesus Kristus, yang telah mendamaikan
semua orang dengan Allah melalui darah-Nya di salib. Ketiga, Gereja itu satu
menurut jiwanya, yakni Roh Kudus, yang tinggal di hati umat beriman, yang
menciptakan persekutuan umat beriman, dan yang memenuhi serta membimbing
seluruh Gereja (KGK art.813).
“Kesatuan”
Gereja juga kelihatan nyata. Sebagai orang-orang Katolik, kita dipersatukan
dalam pengakuan iman yang satu dan sama, dalam perayaan ibadat bersama terutama
sakramen-sakramen, dan struktur hierarkis berdasarkan suksesi apostolik yang
dilestarikan dan diwariskan melalui Sakramen Tahbisan Suci. Sebagai contoh,
kita ikut ambil bagian dalam Misa di Surabaya, Larantuka, Alexandria, San
Francisco, Moscow, Mexico City, Etiopia atau di manapun, Misanya sama;
bacaan-bacaan, tata perayaan, doa-doa, dan lain sebagainya terkecuali bahasa
yang dipergunakan dapat berbeda – dirayakan oleh orang-orang percaya yang
sama-sama beriman Katolik, dan dipersembahkan oleh Imam yang dipersatukan
dengan Uskupnya, yang dipersatukan dengan Bapa Suci, Paus, penerus tahta St.
Petrus.
Gereja yang
satu memiliki kemajemukan yang luar biasa. Umat beriman menjadi saksi iman
dalam panggilan hidup yang berbeda-beda dan beraneka bakat serta talenta,
tetapi saling bekerjasama untuk meneruskan misi Tuhan kita. Keanekaragaman
budaya dan tradisi memperkaya Gereja kita dalam ungkapan iman yang satu. Pada
intinya, cinta kasih haruslah merasuki Gereja, sebab melalui cinta kasihlah
para anggotanya saling dipersatukan dalam kebersamaan dan saling bekerjasama
dalam persatuan yang harmonis.
2. Gereja itu
“kudus” karena berkat Roh Kudus yang menjiwai-Nya, Gereja bersatu dengan Tuhan,
satu-satunya yang dari diri-Nya sendiri kudus.
Gereja
katolik meyakini diri kudus bukan karena tiap anggotanya sudah kudus tetapi
lebih-lebih karena dipanggil kepada kekudusan oleh Tuhan, “Hendaklah kamu
sempurna sebagaimana Bapamu di surga sempurna adanya” (Mat 5:48).Perlu
diperhatikan juga bahwa kategori kudus yang dimaksud terutama bukan dalam arti
moral tetapi teologi, bukan soal baik atau buruknya tingkah laku melainkan
hubungannya dengan Allah. Ini tidak berarti hidup yang sesuai dengan kaidah
moral tidak penting. Namun kedekatan dengan yang Ilahi itu lebih penting, sebagaimana
dinyatakan, “kamu telah memperoleh urapan dari Yang Kudus (1Yoh 2:20),yakni
dari Roh Allah sendiri (bdk. Kis10:38). Diharapkan dari diri seorang yang telah
terpanggil kepada kekudusan seperti itu juga menanggapinya dalam kehidupan
sehari-hari yang sesuai dengan kaidah-kaidah moral (lihat LG. Art.26).
Perjanjian
Baru melihat proses pengudusan manusia sebagai pengudusan oleh Roh Kudus (lih.
1Ptr 1: 2). Dikuduskan karena terpanggil (lih. Rm 1:7). Dari pihak manusia,
kekudusan (kesucian) hanya berarti tanggapan atas karya Allah, terutama dengan
sikap iman dan pengharapan. Sikap iman dinyatakan dalam segala perbuatan dan
kegiatan kehidupan yang serba biasa. Kesucian bukan soal bentuk kehidupan
(seperti menjadi biarawan), melainkan sikap yang dinyatakan dalam hidup
sehari-hari.
Kekudusan
itu terungkap dengan aneka cara pada setiap orang. Kehidupan Gereja bukanlah
suatu sifat yang seragam, yang sama bentuknya untuk semua, melainkan semua
mengambil bagian dalam satu kekudusan Gereja, yang berasal dari Kristus.
Kesucian ini adalah kekudusan yang harus diperjuangkan terus-menerus. Sumber
dari mana Gereja berasal adalah kudus. Gereja didirikan oleh Kristus. Gereja
menerima kekudusannya dari Kristus dan doa-Nya. “Ya Bapa yang kudus,…
kuduskanlah mereka dalam kebenaran … (lih. Yoh 17: 11). Tujuan dan arah Gereja
adalah kudus. Gereja bertujuan untuk kemuliaan Allah dan penyelamatan umat
manusia.
Tuhan kita
Sendiri adalah sumber dari segala kekudusan: “Sebab hanya satulah Pengantara
dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam tubuh-Nya, yakni
Gereja” (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, #14). Kristus menguduskan Gereja,
dan pada gilirannya, melalui Dia dan bersama Dia, Gereja adalah agen
pengudusan-Nya. Melalui pelayanan Gereja dan kuasa Roh Kudus, Tuhan kita
mencurahkan berlimpah rahmat, teristimewa melalui sakramensakramen.
Oleh karena
itu, melalui ajarannya, doa dan sembah sujud, serta perbuatan-perbuatan baik,
Gereja adalah tanda kekudusan yang kelihatan.
“Uskup
mempunyai kepenuhan sakramen Tahbisan, maka ia menjadi “pengurus rahmat imamat
tertinggi” terutama dalam Ekaristi, yang dipersembahkannya sendiri atau yang
dipersembahkan atas kehendaknya, dan yang tiada hentinya menjadi sumber
kehidupan dan pertumbuhan Gereja” (LG.art.26). Masing-masing kita sebagai
anggota Gereja, telah dipanggil kepada kekudusan. Melalui Sakramen Baptis, kita
telah dibebaskan dari dosa asal, dipenuhi dengan rahmat pengudusan, dibenamkan
ke dalam misteri sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan, dan dipersatukan ke
dalam Gereja, “umat kudus Allah”. Dengan rahmat Tuhan, kita berjuang mencapai
kekudusan. Konsili Vatican II mendesak, “Segenap umat Katolik wajib menuju
kesempurnaan Kristen, dan menurut situasi masing-masing mengusahakan, supaya
Gereja, ke hari makin dibersihkan dan diperbaharui, sampai Kristus
menempatkannya di hadapan Dirinya penuh kemuliaan, tanpa cacat atau kerut”
(Dekrit tentang Ekumenisme, #4).
Gereja kita
telah ditandai dengan teladan-teladan kekudusan yang luar biasa dalam hidup
para kudus sepanjang masa. Tak peduli betapa gelapnya masa bagi Gereja kita,
selalu ada para kudus besar melalui siapa terang Kristus dipancarkan. Kita
manusia yang rapuh, dan terkadang kita jatuh dalam dosa; tetapi, kita bertobat
dari dosa kita dan sekali lagi kita melanjutkan perjalanan di jalan kekudusan.
Dalam arti tertentu, Gereja kita adalah Gereja kaum pendosa, bukan kaum yang
merasa diri benar atau merasa yakin akan keselamatannya sendiri. Salah satu doa
terindah dalam Misa dipanjatkan sebelum Tanda Damai, “Tuhan Yesus Kristus,
jangan memperhitungkan dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu.” Meski
individu-individu warga Gereja rapuh dan malang, jatuh dan berdosa, Gereja
terus menjadi tanda dan sarana kekudusan.
3. Gereja itu
“katolik”, “menyeluruh”, “am” atau “umum” karena tersebar di seluruh dunia
sehingga mencakup semua.
Katolik
makna aslinya berarti universal atau umum. Arti universal dapat dilihat secara kwantitatif dan
kualitatif. Gereja itu katolik karena Gereja dapat hidup di tengah segala
bangsa dan memperoleh warganya dari semua bangsa. Gereja sebagai sakramen Roh
Kudus mempunyai pengaruh dan daya pengudus yang tidak terbatas pada anggota
Gereja saja, melainkan juga terarah kepada seluruh dunia. Dengan sifat katolik
ini dimaksudkan bahwa Gereja mampu mengatasi keterbatasannya sendiri untuk
berkiprah ke seluruh penjuru dunia.
Gereja itu
katolik karena ajarannya dapat diwartakan kepada segala bangsa dan segala harta
kekayaan bangsa-bangsa dapat ditampungnya sejauh itu baik dan luhur. Gereja terbuka terhadap semua
kemampuan, kekayaan, dan adat-istiadat yang luhur tanpa kehilangan jati
dirinya. Sebenarnya, Gereja bukan saja dapat menerima dan merangkum segala
sesuatu, tetapi Gereja dapat menjiwai seluruh dunia dengan semangatnya. Oleh
sebab itu, yang katolik bukan saja Gereja universal, melainkan juga setiap
anggotanya, sebab dalam setiap jemaat hadirlah seluruh Gereja. Setiap jemaat
adalah Gereja yang lengkap, bukan sekedar “cabang” Gereja universal. Gereja
setempat merupakan seluruh Gereja yang bersifat katolik.
Gereja
bersifat katolik berarti terbuka bagi dunia, tidak terbatas pada tempat
tertentu, bangsa dan kebudayaan tertentu, waktu atau golongan masyarakat
tertentu. Kekatolikan Gereja tampak dalam: Rahmat dan keselamatan yang
ditawarkannya.
Iman dan
ajaran Gereja yang bersifat umum, dapat diterima dan dihayati oleh siapa pun
juga.
Kekatolikan Gereja tidak berarti bahwa Gereja meleburkan diri ke dalam dunia.
Dalam keterbukaan itu, Gereja tetap mempertahankan identitas dirinya.
Kekatolikan justru terbukti dengan kenyataan bahwa identitas Gereja tidak
tergantung pada bentuk lahiriah tertentu, melainkan merupakan suatu identitas
yang dinamis, yang selalu dan dimana-mana dapat mempertahankan diri,
bagaimanapun juga bentuk pelaksanaannya. Kekatolikan Gereja bersumber dari
firman Tuhan sendiri.
Gereja itu
bersifat dinamis. Maka
Gereja dapat dikembangkan lebih nyata atau diwujudkan dengan cara: Bersikap
terbuka dan menghormati kebudayaan, adatistiadat, bahkan agama bangsa mana pun.
Bekerja sama dengan pihak mana pun yang berkehendak baik untuk mewujudkan
nilai-nilai yang luhur di dunia ini. Berusaha untuk memprakarsai dan
memperjuangkan suatu dunia yang lebih baik untuk umat manusia. Terlibat dalam
kehidupan bermasyarakat, sehingga kita dapat memberi kesaksian bahwa “katolik”
artinya terbuka untuk apa saja yang baik dan siapa yang berhendak baik.
4. Gereja itu
“apostolik” karena warganya dikatakan “anggota umat Allah” jika bersatu dengan
pusat-pusat Gereja yang mengakui diri sebagai tahta para Rasul (apostoloi).
Gereja yang
apostolik berarti Gereja yang berasal dari para Rasul dan tetap berpegang teguh
pada kesaksian iman mereka, yang mengalami secara dekat peristiwa Yesus. Kesadaran bahwa Gereja dibangun atas
dasar para Rasul dengan Yesus Kristus sebagai batu penjuru sudah ada sejak
zaman Gereja Perdana. Hubungan historis antara Gereja para Rasul dan Gereja
sekarang tidak boleh dilihat sebagai semacam “estafet”, yang di dalamnya ajaran
yang benar bagaikan sebuah tongkat dari Rasul-Rasul tertentu diteruskan sampai
kepada para uskup sekarang. Yang disebut apostolik bukanlah para Uskup,
melainkan Gereja. Hubungan historis itu pertama-tama menyangkut seluruh Gereja
dalam segala bidang dan pelayanannya. Gereja bersifat apostolik berarti Gereja
sekarang mengaku diri sama dengan Gereja Perdana, yakni Gereja para Rasul.
Hubungan historis itu jangan dilihat sebagai pergantian orang, melainkan
sebagai kelangsungan iman dan pengakuan.
Gereja yang apostolik tidak berarti
bahwa Gereja terpaku pada Gereja Perdana. Gereja tetap berkembang di bawah bimbingan Roh Kudus
dan tetap berpegang pada Gereja para Rasul sebagai norma imannya. Hidup Gereja
tidak boleh bersifat rutin, tetapi harus dinamis. Gereja disebut apostolik
karena Gereja berhubungan dengan para rasul yang diutus oleh Kristus. Hubungan
itu tampak dalam: Legitimasi fungsi dan kuasa hierarki dari para Rasul. Fungsi
dan kuasa hierarki diwariskan dari para rasul. Ajaran-ajaran Gereja diturunkan
dan berasal dari kesaksian para rasul.Ibadat dan struktur Gereja pada dasarnya
berasal dari para rasul. Gereja sekarang sama dengan Gereja para rasul. Bahkan
identitas Gereja sekarang mempunyai kesatuan dan kesamaan fundamental dengan
Gereja para rasul.
Keempat sifat Gereja itu saling kait
mengait, tetapi tidak merupakan rumus yang siap pakai. Gereja memahaminya
dengan merefleksikan dirinya sendiri dengan karya Roh Kudus di dalam dirinya.
Gereja itu Ilahi sekaligus insani, berasal dari Yesus dan berkembang dalam
sejarah. Gereja itu bersifat dinamis, tidak sekali jadi dan statis, oleh karena
itu sifat-sifat Gereja tersebut harus selalu diperjuangkan.
- Untuk melaksanakan tritugas-Nya, yaitu sebagai imam, nabi dan raja, Kristus melibatkan para murid-Nya. Sebagai kelompok yang dibentuk oleh Kristus, para murid menanggapi panggilan-Nya dengan menunjukkan ciri-ciri hidup tertentu, sebagaimana dikehendaki oleh Kristus pendirinya.
- Sebagai kumpulan yang mengenal dan percaya kepada Kristus, para murid disebut sebagai Gereja perdana. Gereja adalah kumpulan umat beriman kepada Kristus yang memiliki kesatuan yang tidak terpisahkan, sebagaimana tubuh dari kepalanya.
- Setiap makhluk hidup, kota, kelompok bahkan negara memiliki cara hidup atau ciri-ciri tersendiri, yang membedakannya dari makhluk hidup, kota, kelompok atau negara yang lain.
- Ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh setiap kota, kelompok, atau negara tersebut merupakan suatu keistimewaan, yang dapat menjadi daya tarik sekaligus keunggulan.
Satu
Kudus
Ciri Katolik ini mengandung arti Gereja yang utuh, lengkap, tidak hanya setengah atau sebagian dalam menerapkan sistem yang berlaku dalam Gereja. Bersifat universal artinya Gereja Katolik itu mencakup semua orang yang telah dibaptis secara Katolik di seluruh dunia dimana setiap orang menerima pengajaran iman dan moral serta berbagai tata liturgi yang sama dimana pun berada. Kata universal juga sering dipakai untuk menegaskan tidak adanya sekte-sekte dalam Gereja Katolik. Apostolik
- Ciri yang terakhir dari Gereja Katolik adalah apostolik. Dengan ciri ini mau ditegaskan adanya kesadaran bahwa Gereja “dibangun atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru” (Efesus 2:20). Gereja Katolik mementingkan hubungan historis, turun temurun, antara para rasul dan pengganti mereka, yaitu para uskup.
Komentar
Posting Komentar