Ketika Soekarno dan Hatta serta para pendiri bangsa memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945, cita-cita mereka adalah Indonesia nan jaya, adil, makmur, dan damai sejahtera bagi seluruh rakyatnya, seperti yang mereka tandaskan dalam dasar negara Pancasila, khususnya dalam sila kelima, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Berbagai kekuatan sosial politik telah muncul dan tenggelam, kepemimpinan negeri ini pun tampil silih berganti.
Berbagai
kebijakan sistim politik dan ekonomi telah dicoba, namun cita-cita damai
sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia belum kunjung tiba. Bahkan akhir-akhir
ini kondisi kemasyarakatan bangsa ini tampak sedang sakit, perpolitikan semakin
kacau dan perekonomian semakin sulit.
1. Situasi Politik dan
Ekonomi
Dalam penjelasan ini,
kita hanya akan membatasi diri pada kesadaran situasi politik dan ekonomi
ditanah air.
a.
Situasi Politik
Selama
puluhan tahun dibawah pemerintahan Orde Baru, kita dikuasai oleh pemerintah
yang sangat korup, kolusif, dan nepotis. Pemerintahan Orde Baru adalah
pemerintahan yang serakah dan otoriter.
Untuk
mempertahankan supaya bisa menikmati kekuasaan dan kekayaan alam Indonesia,
pemerintah Orde Baru menciptakan doktrin-doktrin yang melestarikan kekuasaannya
yang monolitik dan membuat ABRI menjadi alat penguasa.
• Pancasila
dikeramatkan, tidak boleh ditafsirkan sembarang orang, termasuk para pakar.
Yang bisa menafsirkan pancasila hanya penguasa.
• Doktrin seperti “
wawasan nusantara” , “ persatuan dan kesatuan” , dan “stabilitas”, adalah
doktrin-doktrin monolitik, yang menekan kebhinekaan aspirasi dan pandangan.
Sekarang
kita sudah memasuki zaman reformasi. Namun, yang diharapkan pada awal Orde Reformasi
ternyata tidak terpenuhi, meskipun harus diakui bahwa ada beberapa perubahan.
Ada kebebasan mengungkapkan pendapat dan kebebasan berserikat. Akan tetapi,
banyak masalah justru menjadi semakin parah. Salah satu yang sangat mencolok
adalah hilangnya citarasa dan perilaku politik yang benar dan baik.
Politik
merupakan tugas luhur untuk mengupayakan dan mewujudkan kesejahteraan bersama.
Tugas dan tanggung jawab itu dilaksanakan dengan berpegang pada
prinsip-prinsip, sikap-sikap hormat, serta setia pada etika dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, dalam banyak bidang
prinsip-prinsip etika itu tampaknya makin diabaikan, bahkan ditinggalkan oleh
banyak orang, termasuk oleh para politis, pelaku bisnis, dan pihak-pihak yang
mempunyai sumberdaya lagi berpengaruh di negeri ini.
Dewasa
ini, politik hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dari
pada yang sedang berlangsung sekarang, tampak bahwa politik menjadi ajang
pertarungan kekuatan dan perjuangan untuk memenangkan kepentingan ekonomi atau
kepentingan finansial pribadi dan kelompok. Terkesan tidak ada upaya serius
untuk mewujudkan kesejahtrraan bersama. Bukan kepentingan bangsa yang
diutamakan, melainkan kepentingan kelompok, dengan mengabaikan sering digunakan
untuk kepentingan kelompok politik. Simbol-simbol agama sering dijadikan
lambang politik kelompok tertentu dan dengan demikian membangun sekat-sekat
antara penganut agama, yang kadang kala melahirkan berbagai bentuk kekerasan
yang berbau SARA.
Politik
kekuasaan yang mementingkan kelompok sendiri semacam itu dengan sendirinya akan
mengorbankan tujuan utama, yakni kesejahteraan bersama yang mengandaikan
kebenaran dan keadilan. Penegakan hukum juga diabaikan. Akibatnya, fenomena KKN
(Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme ) tidak ditangani secara serius, bahkan makin
merajalela diberbagai wilayah, lebih-lebih sejak pelaksanaan program otonomi
daerah. Otonomi daerah yang sebenarnya dimaksudkan sebagai desentralisasi
kekuasaan, kejayaan, fasilitas, dan pelayanan ternyata menjadi desentralisasi
KKN.
b.
Situasi Ekonomi
Secara
ekonomis, negeri kita praktis dikuasai oleh segelintir orang yang kaya raya,
yang memiliki perusahaan-perusahaan multinasional dengan modal dan kekayaan
yang sangat besar.
Selanjutnya,
tatanan ekonomi yang berjalan di Indonesia mendorong kolusi kepentingan antara
para pemilik modal dan pejabat, untuk mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya. Kesempatan ini juga bisa dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok bersama dengan para politisi yang mempunyai kepentingan,
untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dengan cara yang mudah. Akibatnya,
antara lain terjadi penggusuran tempat-tempat tinggal rakyat untuk berbagai
mega proyek dan eksploitasi alam demi kepentingan para pengusaha kaya.
Uang
telah merusk segal-galanya. Peraturan perundng-undangan dan aparat penegak
hukumdengan mudah ditaklukkan oleh mereka yang mempunyai sumber daya keuangan.
Akibatnya, upaya untuk menegakkan tatanan hukum yang adil dan pemerintah yang
bersih tak terwujud. Ketidakadilan semakin dirasakan kelompok-kelompok yang
secara struktural sudah dalam posisi lemah, seperti perempuan, anak-anak, orang
tua, orang cacat, dan kaum miskin.
Persaingan
antar kelompok dan antar pribadi menjadi semakin tajam. Suasana persaingan itu
menumbuhkan perasaan tidak adil, terutama ketika berhadapan dengan
pengelompokan kelas ekonomi antara yang kaya dan miskin. Perasaan diperlakukan
tidak adil itu menyuburkan sikap tertutup dan perasaan tidak aman bagi setiap
orang. Orang lain atau kelompok lain akan dianggap sebagai ancaman yang akan
mencelakakan diri atau kelompoknya. Perasaan terancam ini diperparah dengan
sistem ekonomi yang menciptakan kerentanan dalam lapangan kerja.
Kinerja
ekonomi selalu menuntut pembaruan. Pembaruan terus menerus menuntut orang untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan baru yang tidak selalu mengungkapkan
nilai-nilai keadilan. Mereka yang tidak memenuhi tuntutan struktur ekonomi baru
akan terlempar dari pekerjaan karena tidak mampu memenuhi standar baru
tersebut. Angka pengangguran semakin tinggi karena rendahnya investasi disektor
ekonomi riil yang mengakibatkan tidak tercapainya lapangan kerja. Pengangguran
tidak hanya mengakibatkan tak terpenuhinya kebutuhan ekonomi, melainkan juga
memukul harga, yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi.
2.
Akar Masalah
Salah
satu yang terdalam ialah kurangnya iman yang menjadi sumber inspirasi kehidupan
nyata. Penghayatan iman masih lebih berkisar pada hal-hal lahiriah, seperti
simbol-simbol dan upacara keagamaan. Dengan demikian kehidupan politik di
Indonesia kurang tersentuh oleh iman itu. Salah satu akibatnya ialah lemahnya
pelaksanaan etika politik, yang hanya diucapkan dibibir, tetapi tidak
dilaksanakan secara konkret. Politik tidak lagi dilihat sebagai upaya mencari
makna dan nilai atau sebagai suatu cara sebagai pencapaian kesejahteraan
bersama, melainkan lebih sebagai kesempatan untuk menguntungkan diri sendiri
serta kelompoknya.
Akar
masalah yang lain adalah kerakusan akan kekuasaan dan kekayaan yang menjadi
bagian dari pendorong politik kepentingan yang sangat membatasi ruang publik,
yakni ruang kebebasan politik dan ruang peran serta warga negara sebagai
subyek. Ruang publik disamakan dengan pasar. Yang dianggap paling penting
adalah kekuatan uang dan hasil ekonomi. Manusia hanya diperalat sehingga
cenderung diterapkan diskriminasi, dan kemajemukan pun diabaikan. Dengan kata
lain, manusia hanya dihargai dari manfaat ekonominya. Maka, dengan mudah mereka
yang lemah, yang miskin, dan yang kumuh dianggap tidak berguna dan tidak
mendapat tempat. Tekanan pada nilai kegunaan ini tidak hanya bertentangan
dengan martabat manusia melainkan juga mengikis solidaritas. Yang berbeda –
entah berbeda agama, suku, atau perbedaan yang lain – dianggap menjadi halangan
bagi tujuan kelompok. Penyelenggaraan negara dimiskinkan, yakni hanya menjadi
manajemen kepentingan kelompok-kelompok. Politik dagang sapi menjadi bagian
manajemen kepentingan kelompok itu, dengan akibat melemahnya kehendak politik
dalam hal penegakan hukum.
Masih
ada akar masalah yang lain, yaitu nafsu untuk mengejar kepentingan sendiri
bahkan dengan mengabaikan kebenaran. Meluasnya praktek korupsi tidak lepas dari
upaya memenangkan kepentingan diri dan kelompok. ini mendorong terjadinya
pemusatan kekusaan dan lemahnya daya tawar politik berhadapan dengan
kepentingan-kepentingan pihak yang menguasai sumber daya keuangan, terutama
sektor bisnis. Akibatnya, bukan proses politik bagi kebaikan bersama yang
mengelola cita-cita hidup bersama yang berkembang, melainkan kekuatan finansial
yang mendikte proses politik. Lembaga pengawas yang diharapkan menjadi penengah
dalam perbedaan kepentingan ini justru merupakan bagian dari sistem yang juga
korup. Akibatnya, politik pun tidak lagi mandiri. Politik berada dibawah
tekanan kpentingan mereka yang menguasai dan mengendalikan operasi-operasi
pasar. Etika politik seperti tidak berdaya, dicekik oleh nilai-nilai pasar,
kompetisi dan janji keuntungan ekonomi.
Akhirnya,
masih dapat disebut akar masalah ini, yaitu dalil tujuan menghalalkan segala
cara. Ketika tujuan menghalalkan cara, terjadilah kerancuan besar karena apa
yang merupakan ‘cara’ diperlakukan sebagai ‘tujuan’. Dalam logika ini, yang
digunakan sebagai ukuran adalah hasil. Intimidasi, kekerasan, politik uang,
politik pengerahan massa, terror, cara-cara immoral lainnya dihalalkan karena
memberi hasil yang diharapkan. Akibatnya, tidak sedikit pelaku kejahatan
politik, provokator dan koruptor menikmati tiadanya sanksi hukum ( impunity ).
Lemahnya penegakan hukum mengaburkan pemahaman nilai ‘ baik’ dan ‘buruk’ yang
pada gilirannya menumpulkan kesadaran moral dan perasaan bersalah. Kalau
hal-hal itu tidak disadari, orang menjadi tidak peka dan menganggap semua itu
wajar saja. Kerusakan hidup bersama kita juga disebabkan dan sekaligus
menghasilkan penumpulan hati nurani.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar