Materi Agama Katolik
GEREJA SEBAGAI PERSEKUTUAN UMAT TERBUKA
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Umat katolik hidup di tengah dunia bersama sesama manusia lainnya yang bermacam-ragam latarbelakang suku-bangsa, agama, serta keyakinannya. Dalam sejarah panjangnya, Gereja Katolik pernah “menutup diri” dengan ajaran bahwa di luar Gereja (Katolik) tidak ada keselamatan (extra ecllesiam nula salus). Ajaran ini membuat Gereja (Katolik) menutup pintu dialog dengan agama dan kepercayaan serta masyarakat lain pada umumnya. Sejarah Gereja berubah ketika Konsili Vatikan II (1962-1965), membuka pintu-pintu dialog, serta memperbarui diri untuk hidup bersama dengan sesama manusia ciptaan Tuhan dari berbagai latarbelakang agama dan budaya. Meski pintu dialog sudah dibuka lebar-lebar oleh para bapa Gereja kita, di tengah masyarakat kita masih menjumpai banyak Umat Katolik yang hidup secara eksklusif, tertutup.
Paus Fransiskus dalam audensinya dengan para peziarah di Vatikan
menegaskan bahwa Gereja ini lahir dari keinginan Allah untuk memanggil
semua orang dalam persekutuan dengan dia, persahabatan dengan dia; untuk
berbagi dalam kehidupan ilahi-Nya sendiri sebagai putra-putra dan
putri-putri-Nya. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa kata “Gereja”, berasal
dari bahasa Yunani “ekklesia”, berarti “orang – orang yang dipanggil. Demikian
Paus Fransiskus menegaskan “Allah memanggil kita, Ia mendorong kita untuk
keluar dari individualisme kita, dari kecenderungan kita untuk menutup diri
kita sendiri, dan Dia memanggil kita untuk menjadi keluarga-Nya. Pada pokok
bahasan ini akan kita pelajari secara khusus tentang Gereja sebagai persekutuan
yang terbuka. Gereja hadir di dunia dengan persekutuan yang terbuka artinya,
Gereja hadir di dunia bukan untuk dirinya sendiri, Gereja hadir untuk dunia,
kegembiraan dan harapan serta kabar sukacita sehingga menjadi tanda keselamatan
bagi dunia. Gereja sebagai persekutuan terbuka, memperlihatkan kesiapan Gereja
untuk berdialog dengan agama dan budaya manapun, dan memiliki partisipasi aktif
untuk membangun masyarakat yang adil, damai, dan makmur.
Gereja Umat
Allah Model Institusi Piramidal. Sebelum Konsili Vatikan II Gereja mempunyai
model/bentuk institusional, hierarkis pyramidal
Sebelum Konsili Vatikan II Gereja mempunyai model/bentuk institusional,
hierarkis piramidal:
- Para hierarki (Paus, Uskup, dan para tahbisan)
menguasai Umat.
- Organisasi (lahiriah) yang berstruktur piramidal,
tertata rapi.
- Mereka memiliki kuasa untuk menentukan segala
sesuatu bagi seluruh Gereja.
- Sedangkan Umat hanya mengikuti saja hasil
keputusan hierarki.
- Model ini cenderung “imam sentris” atau “hierarki
sentris” artinya hierarki pusat gerak Gereja.
- Gereja model piramidal cenderung mementingkan
aturan, lebih statis dan sarat dengan aturan.
- Gereja sering merasa sebagai satu-satunya
penjamin kebenaran dan keselamatan bahkan bersikap triumfalistik
(memegahkan diri).
Setelah
Konsili Vatikan II, Gereja bukan lagi dipahami sebagai Gereja Pyramidal yang
“hierarkis sentris” tetapi diubah menjadi “Kristosentris” Artinya Kristus
sebagai pusat hidup Gereja.
Setelah Konsili Vatikan II, ada keterbukaan dan pembaharuan cara pandang
pada Gereja sebagai persekutuan Umat.
- Gereja tidak lagi “hierarki sentris” melainkan
Kristosentris” artinya Kristuslah pusat hidup Gereja. Sedangkan kaum
hierarki, Awam, dan Biarawan-Biarawati sama-sama mengambil bagian dalam
tugas Kristus dengan cara yang berbedabeda sesuai dengan talenta dan
kemampuannya masing-masing.
- Gereja lebih bersikap terbuka dan rela berdialog
untuk semua orang. Gereja meyakini bahwa di luar Gereja pun terdapat
keselamatan.
- Adanya paham Gereja sebagai Umat Allah yang
memberikan penekanan pada kolegialitas episkopal (keputusan dalam
kebersamaan).
- Adanya pembaharuan (aggionarmento) yang mendorong
Umat untuk terlibat dan berpartisipasi serta bekerjasama dengan para
klerus.
- Kepemimpinan Gereja; Didasarkan pada
spiritualitas Yesus yang melayani para murid-Nya, maka konsekuensi yang
dihadapi oleh Gereja sebagai Umat Allah adalah: hierarki yang ada dalam
Gereja bertindak sebagai pelayan bagi Umat dengan cara mau memperhatikan
dan mendengarkan Umat. Selain itu keterlibatan Umat untuk mau aktif dan
bertanggung jawab atas perkembangan Gereja juga menjadi hal yang penting.
Maka, hierarki dan Umat/awam diharapkan dapat menjalin kerja sama sebagai
partner kerja dalam karya penyelamatan Allah di dunia.
Gerakan pembaruan yang terjadi dalam Gereja nampak dalam:
- Umat punya hak dan wewenang yang sama (tetapi
tetap ada batasnya), khususnya ikut menentukan gerak kegiatan liturgi di
Paroki melalui wadah Dewan Paroki.
- Gerakan pembaruan ini tidak hanya menyangkut
kepemimpinan Gereja saja melainkan lebih dari itu menjangkau
masalah-masalah dunia.
- Susunan Kepengurusan Dewan Paroki bukan lagi
Piramdal , melainkan lebih merupakan kaitan yang saling bekerjasama dan
saling melengkapi . Intinya Gereja mengundang orang beriman untuk
berkomunikasi terlibat dan diubah.
Makna Gereja sebagai Persekutuan yang Terbuka dalam Ajaran Gereja: Ad Gentes art. 10
Gereja, yang diutus oleh Kristus untuk memperlihatkan dan menyalurkan cinta
kasih Allah kepada semua orang dan segala bangsa, menyadari bahwa karya
misioner yang harus dilaksanakannya memang masih amat berat. Sebab masih ada
dua miliar manusia, yang jumlahnya makin bertambah, dan yang berdasarkan
hubungan-hubungan hidup budaya yang tetap, berdasarkan tradisi-tradisi
keagamaan yang kuno, berdasarkan pelbagai ikatan kepentingan-kepentingan sosial
yang kuat, terhimpun menjadi golongan-golongan tertentu yang besar, yang belum
atau hampir tidak mendengar Warta Injil. Di kalangan mereka ada yang tetap
asing terhadap pengertian akan Allah sendiri, ada pula yang jelas-jelas
mengingkari adanya Allah, bahkan ada kalanya menentangnya. Untuk dapat
menyajikan kepada semua orang misteri keselamatan serta kehidupan yang
disediakan oleh Allah, Gereja harus memasuki golongan-golongan itu dengan gerak
yang sama seperti Kristus sendiri, ketika Ia dalam penjelmaan-Nya mengikatkan
diri pada keadaan-keadaan sosial dan budaya tertentu, pada situasi orang-orang
yang sehari-hari dijumpai-Nya.
Makna Gereja sebagai Persekutuan Terbuka dalam Kitab Suci: Kis 4: 32-37
Kis 4:32 |
Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa,
dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah
miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama. |
Kis 4:33 |
Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang
kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang
melimpah-limpah. |
Kis 4:34 |
Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka; karena
semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan
hasil penjualan itu mereka bawa |
Kis 4:35 |
dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada
setiap orang sesuai dengan keperluannya. |
Kis 4:36 |
Demikian pula dengan Yusuf, yang oleh rasul-rasul disebut Barnabas,
artinya anak penghiburan, seorang Lewi dari Siprus. |
Kis 4:37 |
Ia menjual ladang, miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya
di depan kaki rasul-rasul. |
- Kitab Suci (Kis 4:32-37) di atas memberikan
gambaran yang ideal terhadap komunitas/persekutuan Umat Perdana. Cara
hidup Umat Perdana tersebut tetap relevan bagi kita hingga sekarang.
Kebersamaan dan menganggap semua adalah milik bersama mengungkapkan persahabatan
yang ideal pada waktu itu. Yang pokok ialah bahwa semua anggota jemaat
dicukupi kebutuhannya dan tidak seorang pun menyimpan kekayaan bagi
dirinya sendiri sementara yang lain berkekurangan.
- Mungkin saja kita tidak dapat menirunya secara
harafiah, sebab situasi sosial ekonomi kita sudah sangat berbeda. Namun,
semangat dasarnya dapat kita tiru, yaitu kepekaan terhadap situasi
sosial-ekonomis sesama saudara dalam persekutuan Umat. Kebersamaan kita
dalam hidup menggereja tidak boleh terbatas pada hal-hal rohani seperti
doa, perayaan ibadah, kegiatan-kegiatan pembinaan iman, tetapi harus juga
menyentuh kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya seperti yang
sekarang digalakkan dalam Komunitas Basis Gereja.
- Yesus adalah pusat Gereja, tanpa Yesus, kita (Gereja)
tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya.
- Gereja harus keluar dari diri sendiri menuju
keberadaannya”. Memang jika keluar, ada berbagai masalah, namun lebih baik
daripada Gereja yang menutup diri, seperti Gereja yang sakit.
Komentar
Posting Komentar