Pengantar:
Tuhan
Umat Katolik Indonesia sebagai bagian dari bangsa Indonesia ikut
bertanggung jawab atas krisis yang sedang terjadi. Tantangan yang dihadapi
bangsa Indonesia juga menjadi tantangan bagi umat Katolik juga. Karena
itu, tantangan-tantangan yang ada dapat menjadi peluang bagi umat Katolik
untuk ikut merestorasi bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik.
Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa “...Gereja, yang bertumpu pada cinta
kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan
bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta
kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, yang menyinari semua bidang
manusiawi melalui ajaran-Nya dan kesaksian umat Kristen, Gereja juga
menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik
para warganegara.” (KV II, GS art. 76)
Tantangan-Tantangan yang Dihadapi Bangsa Indonesia
Saat Ini.
Berikut ini secara garis besar diberikan gambaran tentang beberapa
tantangan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, guna menjadi
perhatian kita semua sebagai warga negara Indonesia untuk bersama-sama
menghadapinya. Bahkan kita secara positif melihat tantangan ini menjadi
peluang bagi kita untuk menggunakan talenta yang diberikan Tuhan untuk
membangun bangsa dan negara yang kita cintai ini.
a. Krisis Etika Politik
Etika Politik di Indonesia masih carut marut. Politik hanya dipahami
secara pragmatis sebagai sarana untuk mencari kekuasaan dan
kekayaan bagi pribadi-pribadi dan golongan sendiri. Politik yang
berkembang saat ini, khususnya oleh partai politik lebih bersifat
transaksional yaitu untuk membagi-bagi kekuasaan dan berujung pada
praktik politik uang. Banyak kepala daerah dan para pejabat lembaga
negara lainnya, baik eksekutif, legislatif, dan yudislatif (polisi, jaksa,
hakim) kini berurusan dengan KPK karena terlibat kasus korupsi
yang tentu saja merugikan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat.
b. Krisis Ekonomi.
Masyarakat Indonesia kini masih dilanda krisis ekonomi. Banyak
yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, padahal Indonesia
sendiri dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya.
Dengan berkembangnya neoliberalisme saat ini, orang kaya akan
semakin kaya, dan orang miskin akan semakin miskin. Orang miskin,
bahkan para pedagang kecil atau menengah sekalipun, tidak akan
pernah mampu bersaing dengan para pedagang besar atau orangorang kaya.
c. Merebaknya aliran fundamentalisme radikal
Kini merebak berbagai aliran fundamental radikal di Indonesia.
Fundamentalisme itu pandangan yang berpusat pada diri manusia,
sehingga manusia menjadi tolok ukurnya. Karena itu fundamentalisme
prinsipnya “menutup diri” terhadap kebenaran dari paham di luar
dirinya. Akhirnya fundamentalisme dapat berakhir pada arogansi
terhadap orang lain, kekerasan demi mencapai tujuannya sendiri.
Fundamentalisme radikal tidak hanya terbatas pada aliran agama
tertentu, tetapi juga pada suku bahkan daerah. Setelah diberlakukan
sistem otonomi daerah dan otonomi khusus, tampaknya terjadi gerakan
daerahisme. Mereka berusaha menolak dan bahkan “mengusir” orang
dari daerah lain, khususnya dalam urusan pejabat pemerintahan, atau
pengangkatan PNS dengan istilah mengutamakan putra daerah.
d. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia
Dalam berbagai kasus penegakan hukum baik perdata maupun
pidana, banyak terjadi ketidakadilan. Keadilan hukum hanya tajam
untuk orang di bawah tetapi tumpul untuk orang yang di atas. Artinya,
bahwa keadilan hukum di lembaga peradilan hanya diberlakukan bagi
masyarakat kecil yang lemah secara ekonomi, karena mereka tidak mampu menyogok para penegak hukum. Di sisi lain para penguasa
dan kaum kaya raya dapat membeli para penegak hukum sehingga
mereka bisa bebas dari hukuman, atau minimal mendapat hukuman
ringan. Dalam beberapa kasus, seorang pencopet, atau maling ayam,
dihukum jauh lebih berat daripada seorang koruptor yang telah
mencuri uang negara ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah. Publik
Indonesia pun sudah mengetahui bagaimana banyak koruptor kelas
kakap, yang sedang mendekam di penjara, tetapi dapat berkeliaran
bebas di luar dan berpesta pora serta melancong ke mana-mana.
e. Berbagai bencana dan kerusakan alam
Bencana alam dan kerusakan alam menjadi tantangan nyata di
hadapan kita.
Bencana alam bisa disebabkan oleh kondisi alam itu
sendiri, seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi. Namun
bencana alam juga dapat disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri,
seperti penggundulan dan pembakaran hutan untuk berbagai tujuan;
penebangan pohon yang dilakukan secara serampangan sehingga
menimbulkan bencana longsor dan banjir bandang yang dapat
merenggut jiwa dan harta. Kerusakan alam juga disebabkan oleh
limbah industri yang mematikan ekosistem di sekitarnya.
Ajaran Gereja Tentang Bagaimana Peluang-Peluang
Umat Katolik dalam Pembangunan .
a. Dari segi krisis Etika Politik
Situasi Etika Politik di Indonesia masih carut marut. Gereja Katolik
perlu memperjuangkan agar politik tidak hanya dipahami secara
pragmatis sebagai sarana untuk mencari kekuasaan dan kekayaan, melainkan sebagai suatu jerih payah untuk membuat transformasi
situasi masyarakat yang kacau menjadi masyarakat yang tertata dan
mampu menciptakan kesejahteraan umum.
Relasi Gereja dan Negara untuk terwujudnya kesejahteraan umum
dinyatakan oleh Konsili sebagai berikut: “Negara dan Gereja bersifat
otonom tidak saling tergantung di bidang masing-masing. Akan tetapi
keduanya, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan
pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelaksanaan itu akan
lebih efektif jika Negara dan Gereja menjalin kerja sama yang sehat,
dengan mengindahkan situasi setempat dan sesama. Sebab, manusia
tidak terkungkung dalam tata duniawi saja, melainkan juga mengabdi
kepada panggilannya untuk kehidupan kekal. Gereja, yang bertumpu
pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya
di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin
meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran
Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaranNya dan melalui kesaksian umat kristen, Gereja juga menghormati
dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para
warganegara.” (KV II, GS art. 76)
b. Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi telah lama membelit masyarakat Indonesia pada
umumnya. Inti persoalannya adalah kebijakan perekonomian
pemerintah hanya untuk mengejar target produksi. Masyarakat
Indonesia dikorbankan demi keuntungan perekonomian sektor
formal. Untuk masalah pemiskinan secara ekonomi tersebut, Konsili
Vatikan mengajarkan bahwa; “Makna-tujuan yang paling inti produksi
itu bukanlah semata-mata bertambahnya hasil produksi, bukan
pula keuntungan atau kekuasaan, melainkan pelayanan kepada
manusia, yakni manusia seutuhnya, dengan mengindahkan tata
urutan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya maupun tuntutan-tuntutan
hidupnya di bidang intelektual, moral, rohani, dan keagamaan;
katakanlah: manusia siapa saja, kelompok manusia mana pun juga,
dari setiap suku dan wilayah dunia. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi
harus dilaksanakan menurut metode-metode dan kaidah-kaidahnya
sendiri, dalam batas-batas moralitas sehingga terpenuhilah rencana
Allah tentang manusia”. (KV II GS art. 64). Harapan Konsili itu
jelas, perekonomian terutama harus mengabdi kepada kepentingan
perkembangan manusia, sehingga titik berat perkembangan ekonomi
bukan sekadar keuntungan semata mata! Di sinilah tantangan sekaligus sebagai peluang bagi umat Katolik dan umat beragama
dan berkepercayaan lainnya untuk mengembangkan ekonomi yang
berpihak pada kesejahteraan rakyat.
c. Merebaknya aliran fundamentalisme radikal
Fundamentalisme itu pandangan yang berpusat pada diri manusia,
sehingga manusia menjadi tolok ukurnya. Karena itu fundamentalisme
prinsipnya “menutup diri” terhadap kebenaran dari paham di luar
dirinya. Akhirnya fundamentalisme dapat berakhir pada arogansi
terhadap orang lain, kekerasan demi mencapai tujuannya sendiri.
Berhadapan dengan berbagai aliran itu, kepentingan kehadiran
Gereja tidak lain adalah mendorong gerakan “kebebasan beragama”
dan “gerakan humanisme sejati, yang tertuju pada Allah.” Demi
kepentingan gerakan kebebasan beragama, Konsili Vatikan II, secara
khusus menyatakan sebagai berikut: “bahwa pribadi manusia berhak
atas kebebasan beragama. Kebebasan itu berarti, bahwa semua orang
harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang perorangan maupun
kelompok-kelompok sosial atau kuasa manusiawi mana pun juga,
sedemikian rupa, sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun
dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya, atau dihalanghalangi untuk dalam batas-batas yang wajar bertindak menurut suara
hatinya, baik sebagai perorangan maupun di muka umum, baik sendiri
maupun bersama dengan orang lain. Selain itu Konsili menyatakan,
bahwa hak menyatakan kebebasan beragama sungguh didasarkan
pada martabat pribadi manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda
Allah yang diwahyukan dan dengan akal-budi. Hak pribadi manusia
atas kebebasan beragama harus diakui dalam tata hukum masyarakat
sedemikian rupa, sehingga menjadi hak sipil.”(KV II, Dignitatis
Humanae, art. 1).
Terhadap cara pandang yang sempit, picik, dan merasa benar sendiri,
Paulus VI menunjukkan nilai humanisme yang semestinya menjadi
nilai universal dalam masyarakat dunia, “Tujuan mutakhir ialah
humanisme yang terwujudkan seutuhnya. Dan tidakkah itu berarti
pemenuhan manusia seutuhnya dan tiap manusia? Humanisme yang
picik, terkungkung dalam dirinya tidak terbuka bagi nilai-nilai rohani
dan bagi Allah yang menjadi Sumbernya, barangkali tampaknya saja
berhasil, sebab manusia dapat berusaha mencari kenyataan duniawi
tanpa Allah. Akan tetapi bila kenyataan itu tertutup bagi Allah,
akhirnya justru akan berbalik melawan manusia. Humanisme yang
tertutup bagi kenyataan lain jadi tidak manusiawi. Humanisme yang sejati menunjukkan jalan kepada Allah serta mengakui tugas yang
menjadi pokok panggilan kita, tugas yang menyajikan kepada kita
makna sesungguhnya hidup manusiawi. Bukan manusialah norma
mutakhir manusia. Manusia hanya menjadi sungguh manusiawi bila
melampaui diri sendiri. Menurut Blaise Pascal, “Manusia secara
tidak terbatas mengungguli martabatnya” (Paulus VI, Populorum
Progressio art. 42)
d. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia
Dari segi lemahnya penegakan hukum, kita harus berusaha mengubah
mind-set peranan hukum dalam masyarakat, bahwa hukum bukan
sarana untuk mempermudah agar “kasus-kasus” Pidana dan Perdata
diperlakukan sebagai “komoditi”, tetapi hukum berfungsi untuk
mempermudah pelaksanaan hidup bersama yang memungkinkan
terciptanya kesejahteraan umum. Konsili Vatikan II menegaskan
bahwa “Pelaksanaan kekuasaan politik, baik dalam masyarakat
sendiri, maupun di lembaga-lembaga yang mewakili negara, selalu
harus berlangsung dalam batas-batas tata moral, untuk mewujudkan
kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, menurut tata
perundang-undangan yang telah dan harus ditetapkan secara sah. Maka
para warga negara wajib patuh-taat berdasarkan hati nurani mereka.
Dari situ jelas jugalah tanggung jawab, martabat, dan kewibawaan
para penguasa. (KV II GS art. 73).
Dalam Kitab Suci, kita dapat melihat bagaimana Yesus menuntut
bangsa Yahudi supaya taat kepada hukum Taurat, sebab pada dasarnya
hukum Taurat dibuat demi kebaikan dan keselamatan manusia (bdk.
Mat 5: 17-43). Satu titik pun tidak boleh dihilangkan dari hukum
Taurat. Ia hanya menolak hukum Taurat yang sudah dimanipulasi,
di mana hukum tidak diabdikan untuk manusia, tetapi manusia
diabdikan untuk hukum. Segala hukum, peraturan, dan perintah harus
diabdikan untuk tujuan kemerdekaan manusia. Maksud terdalam dari
setiap hukum adalah membebaskan (atau menghindarkan) manusia
dari segala sesuatu yang (dapat) menghalangi manusia untuk berbuat
baik. Demikian pula tujuan hukum Taurat. Sikap Yesus terhadap
hukum Taurat dapat diringkas dengan mengatakan bahwa Yesus
selalu memandang hukum Taurat dalam terang hukum kasih.
Mereka yang tidak peduli dengan maksud dan tujuan hukum, hanya asal
menepati huruf hukum, akan bersikap legalistis: pemenuhan hukum
secara lahiriah sedemikian rupa sehingga semangat hukum kerap kali
dikorbankan. Misalnya, ketika kaum Farisi menerapkan peraturan mengenai hari Sabat dengan cara yang merugikan perkembangan
manusia, Yesus mengajukan protes demi tercapainya tujuan peraturan
itu sendiri, yakni kesejahteraan manusia: jiwa dan raga. Menurut
keyakinan awal orang Yahudi sendiri, peraturan mengenai hari Sabat
adalah karunia Allah demi kesejahteraan manusia (bdk. Ul 5: 12-15;
Kel 20: 8-11; Kej 2: 3). Akan tetapi, sejak pembuangan Babilonia
(587-538 SM), peraturan itu oleh para rabi cenderung ditambah
dengan larangan-larangan yang sangat rumit. Memetik butir gandum
sewaktu melewati ladang yang terbuka tidak dianggap sebagai
pencurian. Kitab Ulangan yang bersemangat perikemanusiaan
mengizinkan perbuatan tersebut. Akan tetapi, hukum seperti yang
ditafsirkan para rabi melarang orang menyiapkan makanan pada
hari Sabat dan karenanya juga melarang menuai dan menumbuk
gandum pada hari Sabat. Dengan demikian, para rabi menulis hukum
mereka sendiri yang bertentangan dengan semangat perikemanusiaan
Kitab Ulangan. Hukum ini menjadi beban, bukan lagi bantuan guna
mencapai kepenuhan hidup sebagai manusia.
Oleh karena itu, Yesus mengajukan protes. Ia mempertahankan
maksud Allah yang sesungguhnya dengan peraturan mengenai
Sabat itu. Yang dikritik Yesus bukanlah aturan mengenai hari Sabat
sebagai pernyataan kehendak Allah, melainkan cara hukum itu
ditafsirkan dan diterapkan. Mula-mula, aturan mengenai hari Sabat
adalah hukum sosial yang bermaksud memberikan kepada manusia
waktu untuk beristirahat, berpesta, dan bergembira setelah enam hari
bekerja. Istirahat dan pesta itu memungkinkan manusia untuk selalu
mengingat siapa sebenarnya dirinya dan untuk apakah ia hidup.
Sebenarnya, peraturan mengenai hari Sabat mengatakan kepada
kita bahwa masa depan kita bukanlah kebinasaan, melainkan pesta.
Dan, pesta itu sudah boleh mulai kita rayakan sekarang dalam hidup
di dunia ini, dalam perjalanan kita menuju Sabat yang kekal. Cara
unggul mempergunakan hari Sabat ialah dengan menolong sesama
(bdk.Mrk 3: 1-5). Hari Sabat bukan untuk mengabaikan kesempatan
berbuat baik. Pandangan Yesus tentang Taurat adalah pandangan yang
bersifat memerdekakan, sesuai dengan maksud yang sesungguhnya
dari hukum Taurat.
Berbagai bencana dan kerusakan alam
Bencana alam dan kerusakan alam menantang Gereja untuk
berefleksi, “Di manakah Gereja itu hidup, bukankah lingkungan
hidup juga sangat krusial untuk hidup Gereja di tengah dunia? Maka persoalan perusakan lingkungan hidup itu tidak hanya masalah
dunia, tetapi juga masalah Gereja. Paus Paulus VI, dalam Ensiklik
Populorum Progressio, art. 21, menegaskan “Bukan saja lingkungan
materiil terus menerus merupakan ancaman pencemaran dan
sampah, penyakit baru dan daya penghancur, melainkan lingkungan
hidup manusiawi tidak lagi dikendalikan oleh manusia, sehingga
menciptakan lingkungan yang untuk masa depan mungkin sekali
tidak tertanggung lagi. Itulah persoalan sosial berjangkau luas
yang sedang memprihatinkan segenap keluarga manusia.” Dengan
demikian, Gereja juga ditantang untuk terlibat dalam dunia pertanian
yang sudah rusak, karena perusakan sistematis, sehingga merusak
tatanan dan fungsi lingkungan hidup. Tepatlah jika Konsili Vatikan
II mendesak pentingnya membangun kondisi kerja untuk para petani
sehingga mereka mampu mengembangkan diri sebagai manusia utuh:
“Perlu diusahakan dengan sungguh-sungguh, supaya semua orang
menyadari baik haknya atas kebudayaan, maupun kewajibannya yang
mengikat, untuk mengembangkan diri dan membantu pengembangan
diri sesama. Sebab kadang-kadang ada situasi hidup dan kerja,
yang menghambat usaha-usaha manusia di bidang kebudayaan dan
menghancurkan seleranya untuk kebudayaan. Hal itu secara khas
berlaku bagi para petani dan kaum buruh; bagi mereka itu seharusnya
diciptakan kondisi-kondisi kerja sedemikian rupa, sehingga tidak
menghambat melainkan justru mendukung pengembangan diri
mereka sebagai manusia”. (KV II, GS art. 60).
