Manusia adalah makluk
pekerja. Tanpa bekerja manusia kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Maka
apapun suatu pekerjaan, asalkan halal, orang akan merasa dirinya bernilai di
hadapan sesamanya. Sebaliknya orang-orang yang berada di usia produktif namun
tidak bekerja akan merasa rendah diri dalam pergaulan masyarakat. Seiring
dengan perkembangan zaman serta gaya hidup dewasa ini, makna dan nilai bekerja
nampaknya telah bergeser. Bekerja dipahami secara sempit sebagai hal duniawi
belaka. Kebanyakan orang tanpa sadar melihat makna bekerja sekadar mencari
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di zaman yang semakin kompleks,
makna dan nilai bekerja telah menyempit menjadi mengejar nilai ekonomis.
Kepuasan dalam bekerja identik dengan kepuasan materialistik. Manusia bekerja
tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing, namun untuk
mengumpulkan modal. Modal dan uang dikejar demi uang itu sendiri dan tidak lagi
mempertimbangkan kesejahteraan bersama (bonum commune). Kerja pun bukan lagi
demi pemenuhan kebutuhan hari ini, tetapi melampaui kebutuhan dan memiliki
orientasi mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Bahkan demi mendapatkan hasil
ekonomis seseorang mengabaikan nilai moral dalam bekerja dengan melakukan
praktik ketidakjujuran. Kasus korupsi yang menggurita di Indonesia adalah
contoh konkrit bagaimana orang bekerja mengumpulkan harta secara tidak jujur.
Pergeseran kerja pun tampak dalam pilihan bekerja. Bekerja yang meningkatkan
gengsi sekaligus meningkatkan hasil ekonomis yang banyak diburu. Demi
mendapatkan pekerjaan itu, seseorang menghalalkan segala cara. Di dalam
masyarakat pun tercipta pembedaan, mana pekerjaan yang kelas satu dan mana
pekerjaan yang kelas dua. Masyarakat kurang menghargai pekerjaan domestik atau
pekerjaan biasa, seperti ibu rumah tangga, buruh dan petani, meskipun pekerjaan
itu dijalani dengan penuh ketekunan dan pengorbanan.
Ajaran Gereja tentang Kerja
Menurut Konsili Vatikan II:
”Bagi kaum beriman ini merupakan keyakinan: kegiatan manusia baik perorangan
maupun kolektif, atau usaha besar-besaran itu sendiri, yang dari zaman ke zaman
dikerahkan oleh banyak orang untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka,
memang sesuai dengan rencana Allah. Sebab manusia, yang diciptakan menurut
gambar Allah, menerima titah-Nya, supaya menaklukkan bumi beserta segala
sesuatu yang terdapat padanya, serta menguasai dunia dalam keadilan dan
kesucian; ia mengemban perintah untuk mengakui Allah sebagai Pencipta
segala-galanya, dan mengarahkan diri beserta seluruh alam kepada-Nya, sehingga
dengan terbawahnya segala sesuatu kepada mausia nama Allah sendiri dikagumi di
seluruh bumi”. Sabda perwahyuan Allah secara mendalam ditandai oleh kebenaran
asasi, bahwa manusia, yang diciptakan menurut citra Allah, melalui kerjanya berperan
serta dalam kegiatan Sang Pencipta, dan dalam batas-batas daya-kemampuan
manusiawinya sendiri ia dalam arti tertentu tetap makin maju dalam menggali
sumber-sumber daya serta nilai-nilai yang terdapat dalam seluruh alam tercipta.
Kebenaran itu tercantum pada
awal Kitab suci sendiri, dalam Kitab Kejadian , yang menyajikankarya penciptaan
dalam bentuk ”kerja” yang dijalankan oleh Allah selama ”enam hari”, sedangkan
Ia ”beristirahat” pada hari ketujuh. Selain itu kitab terakhir Kitab suci
menggemakan sikap hormat yang sama terhadap segala yang telah dikerjakan oleh
Allah melalui ”karya” penciptaan-Nya, bila menyatakan: ”Agung dan ajaiblah
segala karya-Mu, ya Tuhan, Allah yang Mahakuasa!”Itu senada dengan Kitab
Kejadian, yang menutup lukisan setiap hari penciptaan dengan pernyataan: ”Dan
Allah melihat bahwa itu baik adanya” Kesadaran, bahwa kerja manusia ialah
partisipasi dalam kegiatan Allah, menurut Konsili, bahkan harus meresapi
”pekerjaan sehari-hari yang biasa sekali. Sebab pria maupun wanita, yang-sementara
mencari nafkah bagi diri maupun keluarga mereka-melakukan pekerjaan mereka
sedemikian rupa sehingga sekaligus berjasa-bakti bagi masyarakat, memang dengan
tepat dapat berpandangan, bahwa dengan jerih-payah itu mereka mengembangkan
karya Sang Pencipta, ikut memenuhi kepentingan sesama saudara, dan
menyumbangkan kegiatan mereka pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam
sejarah”. Kesadaran, bahwa melalui kerja manusia berperan serta dalam karya
penciptaan merupakan motif yang terdalam untuk bekerja di pelbagai sektor.
”Jadi”-menurut Konstitusi ”Lumen Gentium”-”kaum beriman wajib mengakui makna
sedalamdalamnya, nilai serta tujuan segenap alam tercipta, yakni: demi
kemuliaan Allah.
Arti, Makna dan Tujuan Kerja
Arti Kerja; Secara sederhana
bekerja dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan manusia untuk mendapatkan
penghasilan demi memenuhi tujuan tertentu. Tujuan tersebut dapat berupa
pemenuhan kebutuhan makan, tempat tinggal, atau kebutuhan hidup lainnya.
Kerja adalah setiap kegiatan
manusia yang diarahkan untuk kemajuan manusia, baik kemajuan rohani maupun
jasmani, dan mempertahankannya. Karena itu, pekerjaan memerlukan pemikiran dan
merupakan kegiatan insani.
Kerja memerlukan pemikiran.
Kerja dengan sadar harus diarahkan kepada suatu tujuan tertentu. Pekerjaan
merupakan keistimewaan makhluk yang berakal budi Sebab, hanya manusialah yang
dengan sadar dan bebas dapat mengarahkan kegiatannya kepada suatu tujuan
tertentu.
Kerja merupakan kegiatan
insani yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Oleh
karenanya, setiap jenis pekerjaan memiliki martabat dan nilai insani yang sama.
Dipandang dari segi ini, tidak ada pekerjaan yang kurang atau lebih mulia dan
luhur. Apabila dipandang dari sudut lain, yakni dari sudut tujuan dan hasil, setiap
pekerjaan sungguh berbeda dan nilai pekerjaan yang satu melebihi nilai
pekerjaan yang lain. Akan tetapi, nilai insani dan martabatnya tidak berubah
karenanya.
Kerja atau bekerja adalah
ciri hakiki hidup manusia. Dengan bekerja hidup manusia memperoleh arti. Dengan
bekerja, seseorang merasa dirinya berharga di tengah keluarga dan masyarakat.
Demi hormat terhadap martabat manusia tidak seorang pun boleh dihalangi
bekerja. Demi harga diri setiap orang harus bekerja menanggung hidupnya sendiri
dengan nafkah yang ia peroleh dan mendukung hidup bersama. Namun pekerjaan juga
mempunyai makna religius. Allah sendiri dilukiskan sebagai Pencipta yang
bekerja dari hari pertama sampai hari yang keenam dan pada hari yang ketujuh
beristirahat dari pekerjaan yang dikerjakan-Nya. (Kej 1:1-2:3). Maka menyangkut
hal ini perlu diperhatikan:
recommended by
Mgid
Mgid
ROLEX REPLICA
Jam Tangan Replika Rolex
Diskon hingga 90%.Hanya 3 Hari Pembukaan
PELAJARI LEBIH
Allah menyuruh manusia untuk
bekerja.
Dunia dan makhluk-makhluk
lainnya diserahkan oleh Allah kepada manusia untuk dikuasai, ditaklukkan dan
dipergunakan. (Kej 1:28-30).
Dengan demikian manusia
menjadi wakil Allah di dunia ini. Ia menjadi pengurus dan pekerja yang
menyelenggarakan ciptaan Tuhan.
Dengan bekerja manusia bukan
saja dapat bekerja sama dengan Tuhan, tetapi juga dengan Pekerja yang
menyelenggarakan ciptaan Tuhan.
Dengan bekerja manusia
mendekatkan dirinya secara pribadi dengan Allah!
Manusia akhirnya teruntuk
bagi Allah sebagai yang terakhir. Kerja, akhirnya merupakan salah satu bentuk
pengabdian pribadi kepada Allah sebagai tujuan akhir manusia. Disini menjadi
nyata bahwa kerja sungguh bisa mempunyai aspek religius, selain aspek pribadi
dan sosial.
Makna
Kerja
Makna
atau arti ekonomis
Dari sisi ekonomi, bekerja
dipandang sebagai pengerahan tenaga untuk menghasilkan sesuatu yang diperlukan
atau diinginkan oleh seseorang atau masyarakat. Dalam hal ini dibedakan menjadi
pekerjaan produktif (misalnya pertanian, pertukangan, dan sebagainya),
distributif (misalnya perdagangan), dan jasa (misalnya guru, dokter, dan
sebagainya). Kerja merupakan unsur pokok produksi yang ketiga, di samping tanah
dan modal. Jadi, makna ekonomis dari kerja ialah memenuhi dan menyelenggarakan
kebutuhankebutuhan hidup yang primer.
Makna
sosiologis
Kerja, selain sebagai usaha
untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sekaligus juga mengarah kepada pemenuhan
kebutuhan masyarakat.
Makna
antropologis
Kerja memungkinkan manusia
untuk membina dan membentuk diri dan pribadinya. Dengan kerja, manusia menjadi
lebih manusia dan lebih bisa menjadi teman bagi sesamanya dengan menggunakan
akal budi, kehendak, tenaga, daya kreatif, serta rasa tanggung jawab terhadap
kesejahteraan umum.
Tujuan kerja
Mencari nafkah. Kebanyakan
orang bekerja untuk mencari nafkah, mengembangkan kehidupan jasmaninya dan
mempertahankannya.
Artinya, orang bekerja untuk
memenuhi kebutuhan hidup, untuk memperoleh kedudukan serta kejayaan ekonomis,
yang menjamin kehidupan jasmaninya untuk masa depan. Nilai yang mau dicapai ini
bersifat jasmani.
Memajukan teknik dan
kebudayaan. Nilai yang mau dicapai ini lebih bersifat rohaniah. Dengan bekerja
orang dapat memajukan salah satu cabang teknologi atau kebudayaan, dari yang
paling sederhana sampai kepada yang paling tinggi.
Menyempurnakan diri sendiri.
Dengan bekerja manusia lebih menyempurnakan dirinya sendiri. Ia menemukan harga
dirinya. Atau lebih tepat: ia mengembangkan kepribadiannya. Dengan kerja,
manusia lebih memanusiakan dirinya.
Hubungan
antara Kerja dan Doa
Ora
et labora! Berdoa dan bekerjalah! Doa mempunyai peranan penting dalam pekerjaan
kita. Dapat disebut antara lain:
1. Doa
dapat menjadi daya dorong bagi kita untuk bekerja lebih tekun, lebih tabah dan tawakal.
2. Doa
dapat memurnikan pola kerja, motivasi dan orientasi kerja kita, apabila sudah
tidak terlalu murni lagi. Doa sering merupakan saat-saat refleksi diri dan
kerja yang sangat efektif.
3. Doa
dapat menjadikan kerja manusia mempunyai aspek religius dan adikodrati.
4. Doa
dan kerja memiliki keterkaitan yang sangat erat. Semakin kita bekerja maka seharusnya semakin kita berdoa. Karena:
Ketika
kerja semakin banyak, dapat membuat orang semakin tenggelam dan terikat pada
kerja. Maka doa sebagai refleksi atas kerja harus ditingkatkan supaya kerja
tetap murni dalam segala aspek.
Kalau
kerja semakin banyak, tentu semakin dibutuhkan kekuatan dan dorongan. Doa dapat
menjadi kekuatan bagi orang beriman. Doa dan kerja seharusnya merupakan
ungkapan dan perwujudan iman seseorang.
Kerja dan Istirahat
Kerja dan istirahat merupakan
dua hal yang saling melengkapi. Karena memerlukan istirahat, manusia seharusnya
bekerja menurut irama alam seperti yang dilakukan oleh para petani dalam
masyarakat pedesaan: peredaran hari dan pergantian musim menetapkan irama kerja
dan istirahat. Namun di dunia industri irama semacam itu hancur: orang bekerja
dalam irama mesin dan di bawah perintah orang lain. Tidak jarang orang
kehilangan haknya untuk beristirahat demi target produksi. Dengan demikian
kerja bukan merupakan bagian hidup manusia lagi, tetapi hanya merupakan sarana
untuk mencapai suatu tujuan di luar manusia. Dengan kata lain pekerjaan menjadi
sarana produksi melulu dan dengan demikian merendahkan martabat manusia.
Perlu kita ingat pekerjaan
itu bernilai karena manusia sendiri bernilai. Dalam situasi di mana manusia
tidak dapat menikmati nilai kerjanya secara pribadi dan langsung, maka upah dan
kedudukannya dalam masyarakatlah yang mengungkapkan nilai kerjanya. Dalam hal
ini manusia dipandang dan diperlakukan sebagai alat produksi, bukan sebagai
citra Allah, suatu hal yang merendahkan martabat manusia.
Kitab Suci Kejadian
menceritakan bahwa Allah sendiri juga bekerja. Sebagai Pencipta, Ia bekerja
enam hari lamanya dan beristirahat pada hari yang ketujuh (Kej 1:1-2:3). Bahkan
Ia tetap bekerja sampai hari ini (Yoh 5:17). Sebagai citra Allah, manusia harus
meneladani Dia, juga dalam bekerja. Semua orang harus bekerja apa pun kedudukan
sosialnya atau jenis kelaminnya; “Enam hari lamanya engkau akan bekerja…..”
(Kej 23:12). Dengan bekerja sehari-hari manusia berpartisipasi dalam usaha
Tuhan Pencipta; ia diajak untuk turut menyempurnakan diri sendiri dan dunia
(mengembangkan alam raya dengan kerjanya). Sekaligus dengan bekerja manusia
memuliakan Allah dan mengabdi kepada-Nya sebagai tujuan akhirnya.
Dalam Kitab Suci dikatakan,
bahwa Tuhan tidak hanya bekerja, tetapi juga beristirahat. Hari ketujuh
merupakan hari istirahat, setelah enam hari sebelumnya Ia bekerja. Ia menyuruh
manusia untuk beristirahat juga setelah bekerja: “…hari ketujuh adalah hari Sabat
Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan suatu pekerjaan” (Kel 20:10). Maka
sebagai citra Allah manusia tidak dapat dipaksa untuk bekerja secara terus
menerus. Ia juga harus diberi kesempatan untuk beristirahat.
Maka sebetulnya dalam firman
Tuhan itu terkandung tiga kewajiban manusia; kewajiban bekerja, kewajiban
beristirahat, dan kewajiban melindungi mereka yang harus bekerja dalam
ketergantungan. Dengan demikian, hidup semua orang dilindungi. Jadi, jangan
sampai kerja menjadi lebih penting daripada hidup dan hasil kerja dinilai lebih
tinggi daripada manusia. Firman Tuhan mau membebaskan manusia dari penindasan
manusia oleh pekerjaan dan perencanaannya sendiri. Tuhan menghendaki supaya
manusia tetap tinggal sebagai “citra Allah” dan bukan alat produksi.