Pengertian:
Hukuman mati adalah
suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan)
sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat
perbuatannya.
Pada tahun 2005,
setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data
tersebut 94% praktik hukuman mati hanya dilakukan di beberapa negara, misalnya:
Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
Studi ilmiah secara
konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati
membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang
dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati
dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman mati lebih buruk
daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana
pembunuhan.
Ajaran Gereja Katolik
mengenai hukuman mati mengalami perkembangan dalam proses yang sangat panjang.
Beberapa kutipan berikut ini dapat menjelaskan perkembangan dan perubahan
ajaran Gereja Katolik mengenai hukuman mati itu:
Macam-macam
bentuk Pelaksanaan Hukuman Mati
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan
hukuman mati:
Hukuman pancung: hukuman dengan
cara potong kepala
Sengatan
listrik:
hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri listrik bertegangan tinggi
Hukuman gantung: hukuman dengan
cara digantung di tiang gantungan
Suntik mati: hukuman dengan cara
disuntik obat yang dapat membunuh
Hukuman tembak: hukuman dengan
cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman ini terpidana harus
menutup mata untuk tidak
melihat.
Rajam:
hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan
hukuman mati:
Hukuman pancung: hukuman dengan
cara potong kepala
Sengatan
listrik:
hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri listrik bertegangan
tinggi
Hukuman gantung: hukuman dengan
cara digantung di tiang gantungan
Suntik mati: hukuman dengan cara
disuntik obat yang dapat membunuh
Hukuman tembak: hukuman dengan
cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman ini terpidana harus
menutup mata untuk tidak
melihat.
Rajam:
hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati
Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah
kesejahteraan dan kemiskinan suatu masyarakat, maupun berfungsi atau tidaknya
institusi penegakan hukum.
Dukungan hukuman mati didasari argumen di antaranya
bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk
membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman
penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada
hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum
mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas.
Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang
merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena
ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi
kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban
sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain
halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa
diubah dengan prasyarat yang jelas.
Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan
praktik hukuman mati, termasuk Indonesia,
dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktik
hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh
kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori
kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto
tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap
hukuman mati.
Praktek hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat
bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati
adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di
berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi
tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan.
Ajaran
Gereja Katolik Tentang Hukuman Mati
Beberapa kutipan dari
jaman lampau ketika Gereja Katolik menerima hukuman mati :
Surat Paus Innocensius
III kepeada Uskup Agung Tarragonta, mengenai rumus pengakuan iman yang
diwajibkan bagi para pengikut P. Waldo. Pada tahun 1210 dikatakan, “Kuasa sipil
dapat, tanpa dosa berat, melaksanakan pengadilan darah, asalkan mengadili
dengan adil, tidak karena benci, dengan arif, tidak tergesa-gesa”.
Katekismus Romawi yang
diterbitkan berdasarkan dekret Konsili Trente (1566) : Bentuk lain pematian sah
merupakan wewenang otoritas sipil yang diserahi kuasa atas hidup dan mati;
dengan pelaksanaan legal dan yudisial mereka menghukum orang bersalah dan
melindungi orang tak bersalah. Penggunaan adil atas kuasa ini, jauh dari
kejahatan pembunuhan, adalah perbuatan ketaatan tertinggi terhadap perintah yang
melarang pembunuhan. Tujuan perintah ini ialah pemeliharaan dan keamaan hidup
manusia. Ada pun hukuman yang dijatuhkan otoritas sipil yang adalah pembalas
legitim kejahatan, menurut kodratnya mengarah kepada tujuan ini, karena memberi
keamanan kepada hidup dnegan menekan kegusaran dan kekerasan. Maka kata-kata
Daus : di pagi hari aku mematikan semua orang jahat di negeri, agar aku dapat
memotong semua pelaku kejahatan dari kota Tuhan….
Kesimpulan : pada tahap
perkembangan ini Gereja Katolik menerima hukuman mati.
B. Beberapa kutipan
dari ajaran Gereja yang paling baru mengenai hukuman mati : mulai dengan
menerima dengan syarat sampai menolak.
Katekismus Gereja
Katolik (11 Agustus 1992) menyatakan : Untuk menjaga kepentingan umum
masyarakat diperlukanupaya untuk membuat penyerang tak mampu merugikan. Karena
itu ajaran tradisional Gereja mengakui dan mendasari hak dan kewajiban otoritas
publik yang legitim untuk menghukum penjahat dengan hukuman yang setimpal
dengan beratnya kejahatan, tak terkecuali dalam kasus yang amat berat, hukuman
mati. Dengan alasan-alasan analog, mereka yang mengemban otoritas mempunyai hak
untuk, dengan kekerasan senjata melawan penyerang bersenjata yang melawan
masyarakat yang menjadi tanggungan pengemban otoritas itu. Efek pertama hukuman
ialah memperbaiki kekacauan yang disebabkan pelanggaran. Bila hukumannya
diterima dengan sukarela oleh pelanggar, maka ada nilai silih. Selain itu
hukuman mengakibatkan pemeliharaan tatatan publik dan keamanan orang. Akhirnya,
hukuman juga merupakan pengobatan; sejauh mungkin hukuman harus merupakan
bantuan untuk perbaikan diri pelanggar (No 2266).
Bila sarana tak
berdarah cukup untuk membela hidup manusia melawan penyerang dan untuk
melindungi tatanan publik dan keamanan orang, otoritias publik hendaknya
membatasi diri dengan mempergunakan sarana seperti itu, karena lebih sesuai
dengan kondisi konkret kepentingan umum dan lebih selaras dengan martabat
manusia (No 2267).
Kesimpulan: Menurut
Katekismus ini, hukuman mati diperbolehkan dalam kasus-kasus yang sangat parah
kejahatannya. Namun, apabila terdapat cara lain untuk melindungi masyarakat
dari penyerang yang tidak berperi-kemanusiaan, cara-cara lain ini lebih dipilih
daripada hukuman mati karena cara-cara ini dianggap lebih menghormati harga diri
seorang manusia dan selaras dengan tujuan kebaikan bersama (bdk KGK 2267). Di
sini terjadi peralihan pandangan Gereja tentang konsep hukuman mati
C. Ensiklik Paus
Yohanes Paulus II “Evangelium Vitae” No 55-57 (25 Maret 1995)
Dalam ensiklik
Evangelium Vitae yang diterbitkan tahun 1995, Paus Yohanes Paulus II
menghapuskan status persyaratan untuk keamanan publik dari hukuman mati ini dan
menyatakan bahwa, dalam masyarakat modern saat ini, hukuman mati tidak dapat
didukung keberadaannya. Berikut kutipannya: “Jelaslah bahwa untuk pencapaian
tujuan ini (=melindungai masyarakat), hakikat dan lingkup hukuman harus dinilai
dan diputuskan dengan seksama, dan tak perlu terlalu jauh sampai melaksanakan
eksekusi mati bagi pelanggar kecuali dalam kasus-kasus yang mutlak perlu;
dengan kata lain, bila mustahil dengan cara lain melindungi masyrakat. Namun
dewasa ini sebagai hasil perbaikan terus-menerus dalam penataan sistem pidana,
kasus demikian amat jarang, kalau tidak praktis tidak ada” (No 56). Dengan
demikian Gereja Katolik tidak mendukung hukuman mati.
D. Intervensi Pengamat
Tetap Takhta Suci di Perserikatan Bangsa-Bangsa di depan Komite Penghapusan
Hukuman Mati (2 Novenber 1999). Beberapa bagian dari intervensi adalah sebagai
berikut : Maka dari itu posisi Takhta Suci ialah agar otoritas harus membatasi
diri, bahkan untuk kejahatan yang paling serius, dengan menggunakan sarana
hukuman yang tidak mematikan, karena sarana-sarana ini ‘lebih sesuai untuk
memelihara kepentingan umum dan lebih selaras dengan martabat manusia’ (KGK
2267). Dewasa ubu begara-negara dapat memakai kemungkinan-kemungkinan baru
untuk ‘secara efektif mencegah kejahatan, dengan membuat orang yang telah
melakukan pelanggaran tak mampu merugikan – tanpa secara definitif merenggut
darinya kemungkinan menebus dirinya (Evangelium Vitae 56). …. Perkenankanlah
saya mengatakannya dengan jelas, setiap orang yang hidupnya diakhiri di kamar
gas, dengan penggantungan, dengan injeksi yang mematikan atau oleh komando
penembak, adalah seorang dari kita – manusia, saudara atau saudari, betapa pun
kejamnya dan tak manusiawi nampaknya tindakannya ….Pada fajar milenium baru,
pantaslah umat manusia menjadi lebih manusiawi dan kurang kejam. Pada akhir
abad yang telah melihat kekejaman yang tak terperikan melawan martabat manusia
dan hak-haknya yang tak terganggu-gugat, memberikan perhatian serius terhadap
penghapusan hukuman mati akan menjadi prakarsa yang pantas dicatat bagi umat
manusia ….. Diskusi tentang pembatasan dan penghapusan hukuman mati menuntut
dari negara-negara kesadaran baru tentang kesucian hidup dan hormat yang patut
diterimanya. Diperlukan keberanian untuk mengatakan “tidak” kepada setiap jenis
pematian, dan diperlukan kemurahan hati untuk memberi kepada pelaku kejahatan
yang terbesar sekali pun kesempatan untuk menghayati hidup yang dibarui dengan
penyembuhan dan pengampunan. Dengan melakukan hal itu pastilah akan
berkembangan perikemanusiaan yang lebih baik.
E. Pernyataan yang
paling baru adalah surat yang disampaikan oleh Paus Fransiskus kepada Komisi Internasional
Penghapusan Hukuman Mati, pada tanggal 20 Maret 2015. Berikut beberapa kutipan
dari surat itu : Secara pribadi saya sangat menghargai komitmen Anda semua
untuk membangun dunia yang bebas dari hukuman mati dan usaha Anda untuk
diberlakukannya moratorium eksekusi mati di seluruh dunia dan akhirnya
penghapusan hukuman mati …. Magisterium Gereja, mulai dari Kitab Suci dan dari
pengalaman sejarah Umat Allah selama ribuan tahun, membela hidup sejak saat
perkandungan sampai kematian natural dan menjunjung tinggi martabat manusia
sebagai citra Allah (Kej 1:26). Hidup manusia adalah suci karena sejak awal
hidup manusia merupakan buah karya penciptaan Allah (KGK 2258) dan sejak saat
pembuahan itu, manusia … satu-satunya makhluk yang dikehendaki Tuhan demi
dirinya sendiri, adalah pribadi yang menerima kasih Allah secara pribadi (GS
24). … Hidup, khususnya hidup manusia adalah milik Allah saja. Bahkan seorang
pembunuh tidak kehilangan martabatnya yang dijamin oleh Allah. Allah tidak
menghukum Kain dengan pembunuhan, karena Ia lebih ingin pendosa bertobat
daripada mati (Evangelium Vitae 9). … Dalam kasus-kasus tertentu, pembelaan
diri dapat dibenarkan, juga kalau pembelaan diri itu berakibat pada terbunuhnya
penyerang (Evangelium Vitae 55). Tetapi prinsip pembelaan diri pribadi ini
tidak dapat ditrapkan pada tingkat sosial. Maksudnya, ketika hukuman mati
diterapkan, orang dibunuh tidak ketika dia menyerang, tetapi dia dibunuh karena
kesalahan yang dilakukan di masa lalu. … Sekarang ini hukuman mati tidak bisa diterima,
seperti apapun kejahatan orang yang dijatuhi hukuman. Hukuman mati mencederai
prinsip hak hidup yang tidak bisa diganggu-gugat dan martabat pribadi manusia.
Hukuman mati melawan rencana Allah terhadap manusia dan masyarakat dan juga
keadilan-Nya yang penuh kerahiman, dan tidak sesuai dengan tujuan hukuman yang
adil. Hukuman mati tidak memperlakukan korban dengan adil, tetapi bernada
pembalasan … Bagi negara hukum, hukuman mati mencerminkan kegagalan, karena
mewajibkan negara membunuh atas nama keadilan. Keadilan tidak pernah tercapai
dengan membunuh manusia … Hukuman mati kehilangan seluruh legitimasi karena
karena tidak sempurnanya pemilihan sistem keadilan kriminal dan karena
kemungkinan kesalahan pengadilan. Keadilan manusia tidaklah sempurna, dan
ketidakmampuan mengakui ketidaksempurnaan ini dapat menjadikannya sumber
ketidak-adilan. Dengan diberlakukannya hukuman mati, orang yang dihukum tidak
diberi kesempatan untuk membuat silih dan bertobat dari perbuatannya yang
merugikan; tidak diberi kesempatan untuk mengakui kesalahan yang merupakan
ungkapan peribatan batinnya. … Hukuman mati bertentangan dengan kemanusiaan dan
kerahiman Allah, yang harus menjadi model keadilan manusiawi. Hukuman mati
menyengsarakan manusia yang diperlakukan secara kejam (perasaan ketika menunggu
eksekusi dst.) … Sekarang ini ada banyak cara untuk menghadapi kejahatan tanpa
meniadakan kesempatan bagi penjahat untuk membaharui diri (Evangelium Vitae
27), tetapi juga kepekaan moral yang semakin tinggi mengenai nilai hidup manusia,
yang menguatkan pendapat umum yang semakin mendukung penghapusan hukuman mati
atau moratiorium terhadapnya (Kompendium Ajaran Sosial Gereja No 405). … Dan
seperti yang saya sampaikan, hukuman mati secara langsung melawan perintah
kasih kepada musuh sebagaimana disampaikan dalam Injil. Oleh karena itu semua
orang kristiani dan yang berkehendak baik, dipanggil untuk berjuang demi
penghapusan hukuman mati legal atau ilegal – dan bukan itu saja, tetapi juga
berjuang untuk memperbaiki kondisi penjara demi hormat terhadap martabat
manusia.
F. Kesimpulan :
1. Dari kutipan-kutipan
itu jelas, bahwa pandangan atau ajaran Gereja Katolik mengenai hukuman mati,
berkembang dan pada akhirnya berubah;
2. Perubahan pandangan
ini berkaitan dengan kesadaran diri manusia dan pengalamannya akan Allah. Ini amat
jelas dalam Kitab Suci : dalam Perjanjian Lama ada hukum pembalasan yang
setimpal “Gigi ganti gigi, mata ganti mata”. Pembalasan yang setimpal ini sudah
lebih maju dibandingkan dengan hukum pembalasan yang lebih berat daripada yang
diterima “Kepala ganti gigi”. Dalam Perjanjian Baru, ketika Allah semakin
dialami sebagai Sang Kasih, hukum pembalasan setimpal diganti secara radikal
dengan Hukum Kasih. Ajaran Gereja Katolik mengenai hukuman mati mengalami
perkembangan dan akhirnya perubahan yang radikal seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar