Pengantar
Keluarga dibentuk
oleh perkawinan antara
laki-laki dan perempuan.
Baik laki- laki maupun
perempuan mempunyai cita-cita
luhur akan membentuk
keluarga yang harmonis. Seringkali
cita-cita itu tidak
mudah dijalankan. Ada perbedaan pendapat, kebencian, kemarahan, iri
hati, dan sebagainya. Bagaimana keluarga dapat menghadapi masalah-masalah
seperti ini?
Gereja Katolik secara tegas
mengajarkan bahwa perkawinan Katolik adalah Sakramen, sehingga setiap pasang
suami istri harus menjaga kesucian perkawinan. Karena itu, sifat perkawinan
Katolik adalah monogami dan tidak terceraikan, kecuali oleh maut; “karena apa
yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia” (Mat 19:6).
Sakramen Perkawinan sebagai akar pembentukan keluarga Katolik hendaknya dijaga
kesuciannya, karena keluarga merupakan Gereja kecil/mini atau Ecclesia
domestica. Artinya, antara lain bahwa keluarga-keluarga Kristiani merupakan
pusat iman yang hidup, tempat pertama iman akan Kristus diwartakan dan sekolah
pertama tentang doa, kebajikan- kebajikan dan cinta kasih Kristen (bdk. KGK
1656 & 1666).
Keluarga
dalam arti sempit: melibatkan suami, istri dan anak-anak mereka, disebut
keluarga inti.
Keluarga
dalam arti luas mencakup semua sanak saudara.
Keluarga
adalah masyarakat paling asasi. Keluarga merupakan sekolah yang terbaik untuk menanamkan
keutamaan-keutamaan sosial, misalnya perhatian terhadap sesama, rasa tanggung
jawab, sikap adil dan bertenggang rasa, dan sebagainya.
Teks Kitab Suci
Matius 19:1-6
Mat 19:1
Setelah
Yesus selesai dengan pengajaran-Nya itu, berangkatlah Ia dari Galilea dan tiba
di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan.
Mat 19:2
Orang
banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Iapun menyembuhkan mereka di sana.
Mat 19:3
Maka
datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya:
“Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?”
Mat 19:4
Jawab
Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula
menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?
Mat 19:5
Dan
firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu
dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
Mat 19:6
Demikianlah mereka bukan
lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia.”
Makna
Keluarga dalam ajaran Gereja
Gaudium et Spes Art. 52
mengatakan:
Keluarga adalah semacam
Sekolah Kemanusiaan yang kaya. Akan tetapi supaya kehidupan dan perutusan
keluarga dapat mencapai kepenuhan, dituntut komunikasi batin yang baik, yang
ikhlas dalam pendidikan anak. Kehadiran ayah yang aktif sangat menguntungkan
pembinaan anak-anak, akan tetapi juga perawatan ibu di rumah, yang dibutuhkan
anak-anak dan seterusnya.
Pedoman Pastoral Keluarga
(MAWI 1975) antara lain mengatakan:
Kita makin menginsyafi bahwa
perkawinan itu persekutuan cinta antara pria dan wanita yang secara sadar dan
bebas menyerahkan diri beserta segala kemampuannya untuk selamanya. Dalam
penyerahan itu suami isteri berusaha makin saling menyempurnakan dan bantu
membantu. Hanya dalam suasana hormat-menghormati dan saling menerima inilah,
dalam keadaan manapun juga, persekutuan cinta itu dapat berkembang hingga
tercapai kesatuan hati yang dicita-citakan. (Lihat Pedoman Kerja Umat katolik
No.9).
Perkawinan itu persekutuan
cinta antara pria dan wanita yang secara sadar dan bebas menyerahkan diri beserta
segala kemampuannya untuk selamanya. Dalam penyerahan itu suami isteri berusaha
makin saling menyempurnakan dan saling membantu. Hanya dalam suasana saling
menghormati dan menerima inilah, dalam keadaan manapun juga, persekutuan cinta
itu dapat berkembang hingga tercapai kesatuan hati yang dicita-citakan.
Tuhan menghendaki
agar kesatuan antara
suami dan istri
tidak terceraikan, karena perkawinan merupakan tanda kesetiaan Allah
kepada manusia dan
kesetiaan Kristus kepada
Gereja-Nya. Atau dengan kata
lain: menjadi tanda kesetiaan cinta Allah kepada setiap orang. Menjadi saksi
akan kesetiaan perkawinan yang tak terceraikan ini adalah salah satu tugas
pasangan Kristiani yang paling genting saat ini, di saat dunia dikaburkan oleh
banyak pandangan yang menurunkan derajat perkawinan, seolah hanya pelampiasan
keinginan jasmani semata. Jika pasangan suami istri dan anak- anak hidup dalam
kasih yang total, maka keluarga menjadi gambaran nyata sebuah Gereja, sehingga
tepatlah jika keluarga itu disebut sebagai Gereja kecil atau ecclesia
domestica. Sebab dengan menerapkan kasih seperti teladan Kristus, keluarga
turut mengambil bagian di dalam hidup dan misi Gereja dalam membangun Kerajaan
Allah.
Ini adalah salah satu tugas pasangan Kristiani
yang paling genting saat ini, di saat dunia dikaburkan oleh banyak pandangan
yang menurunkan derajat perkawinan, seolah hanya pelampiasan keinginan jasmani
semata. Jika pasangan suami istri dan anak- anak hidup dalam kasih yang total,
maka keluarga menjadi gambaran nyata sebuah Gereja, sehingga tepatlah jika
keluarga itu disebut sebagai Gereja kecil atau ecclesia domestica. Sebab dengan
menerapkan kasih seperti teladan Kristus, keluarga turut mengambil bagian di
dalam hidup dan misi Gereja dalam membangun Kerajaan Allah.
“Keluarga
adalah tempat pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan.
Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi,
hati penuh kebaikan,
kesepakatan suami- isteri, dan
kerja sama orangtua
yang tekun dalam mendidik
anak- anak. Kehadiran aktif ayah sangat membantu pembinaan mereka dan
pengurusan rumah tangga oleh ibu, terutama dibutuhkan oleh anak-anak yang masih
muda, perlu dijamin, tanpa maksud supaya pengembangan peranan sosial wanita
yang sewajarnya dikesampingkan.
Melalui pendidikan hendaknya
anak-anak dibina sedemikian rupa, sehingga ketika sudah dewasa mereka mampu
dengan penuh tanggung jawab mengikuti panggilan mereka; panggilan religius;
serta memilih status hidup mereka. Maksudnya apabila kelak mereka mengikat diri
dalam pernikahan, mereka mampu membangun keluarga sendiri dalam kondisi-kondisi
moril, sosial dan ekonomi yang menguntungkan. Merupakan kewajiban orang tua
atau para pengasuh, membimbing mereka yang lebih muda dalam membentuk keluarga dengan
nasehat bijaksana, yang dapat mereka terima dengan senang hati. Hendaknya para
pendidik itu menjaga jangan sampai memaksa mereka, langsung atau tidak langsung
untuk mengikat pernikahan atau memilih orang tertentu menjadi jodoh mereka.
Demikianlah keluarga,
lingkup berbagai generasi
bertemu dan saling membantu
untuk meraih kebijaksanaan
yang lebih penuh, dan mempadukan hak pribadi-pribadi
dengan tuntutan hidup sosial lainnya, merupakan dasar bagi masyarakat. Oleh
karena itu, siapa saja yang mampu memengaruhi persekutuan-persekutuan dan
kelompok- kelompok sosial, wajib memberi sumbangan yang efektif untuk mengembangkan perkawinan dan hidup
berkeluarga.
Hendaknya pemerintah
memandang sebagai kewajibannya yang suci: untuk mengakui, membela dan
menumbuhkan jati diri perkawinan dan
keluarga; melindungi tata susila umum; dan mendukung kesejahteraan rumah
tangga. Hak orangtua untuk melahirkan keturunan dan mendidiknya dalam pangkuan
keluarga juga harus dilindungi. Hendaknya melalui perundang-undangan yang
bijaksana serta pelbagai usaha lainnya, mereka yang malang, karena tidak
mengalami kehidupan berkeluarga, dilindungi dan diringankan beban mereka dengan
bantuan yang mereka perlukan.
Hendaknya umat kristiani,
sambil menggunakan waktu yang ada dan membeda-bedakan yang kekal dari
bentuk-bentuk yang dapat berubah, dengan tekun mengembangkan nilai-nilai
perkawinan dan keluarga, baik melalui kesaksian hidup mereka sendiri maupun
melalui kerja sama dengan sesama yang berkehendak baik. Dengan demikian mereka
mencegah kesukaran-kesukaran, dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga serta
menyediakan
keuntungan-keuntungan baginya
sesuai dengan tuntutan zaman sekarang.
Untuk mencapai tujuan itu semangat iman kristiani, suara hati moril manusia;
dan kebijaksanaan serta kemahiran mereka yang menekuni ilmu-ilmu suci, akan
banyak membantu.
Hasil penelitian para pakar
ilmu-pengetahuan, terutama dibidang biologi, kedokteran, sosial dan psikologi,
dapat berjasa banyak bagi kesejahteraan perkawinan dan keluarga serta
ketenangan hati, melalui pengaturan kelahiran manusia yang dapat di pertanggung
jawabkan.
Berbekalkan pengetahuan yang
memadai tentang hidup berkeluarga, para imam bertugas mendukung panggilan
suami-isteri melalui pelbagai upaya pastoral; pewartaan sabda Allah; ibadat
liturgis; dan bantuan-bantuan rohani lainnya dalam hidup perkawinan dan
keluarga mereka. Tugas para imam pula, dengan kebaikan hati dan kesabaran
meneguhkan mereka ditengah kesukaran-kesukaran, serta menguatkan mereka dalam
cinta kasih, supaya terbentuk keluarga-keluarga yang sungguh-sungguh
berpengaruh baik. Himpunan-himpunan
keluarga, hendaknya berusaha
meneguhkan kaum muda dan para suami-isteri sendiri, terutama yang baru
menikah, melalui ajaran dan kegiatan; hidup kemasyarakatan, serta kerasulan.
Akhirnya hendaknya
para suami-isteri sendiri,
yang diciptakan menurut gambar
Allah yang hidup dan ditempatkan dalam tata- hubungan antarpribadi yang
autentik, bersatu dalam cinta kasih yang sama, bersatu pula dalam usaha saling
menguduskan supaya mereka, dengan mengikuti Kristus sumber kehidupan, di
saat-saat gembira maupun pengorbanan dalam panggilan mereka, karena cinta kasih
mereka yang setia menjadi saksi-saksi misteri cinta kasih, yang oleh Tuhan diwahyukan
kepada dunia dalam wafat dan
kebangkitan-Nya”. (GS.52)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar