22 September 2021

BERIMAN

 Beriman berarti: Menyerahkan diri secara total kepada kehendak Allah.

Manusia dapat menanggapi Wahyu Tuhan dengan Iman, bila Wahyu Tuhan tidak ditanggapi oleh manusia, maka tidak aka nada artinya. Sebaliknya manusia tidak mungkin beriman tanpa pewahyuan Allah.

Wahyu dapat berarti juga: Petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada Para Nabi dan Rasul.

 Wahyu Tuhan dapat berupa:

  • Sapaan
  • Pernyataan
  • Tawaran dari Tuhan kepada manusia / Tawaran diri Allah bagi manusia.

Hal-hal yang dinyatakan Tuhan antara lain dapat berupa diriNya sendiri, yaitu siapa Dia itu dan rencanaNya untuk menyelamatkan manusia. 

Wahyu Tuhan dapat kita ketahui melalui:

  • Ciptaan Tuhan sendiri
  • Diri manusia
  • Peristiwa-peristiwa yang dialami manusia
  • Kitab Suci dll 

Puncak wahyu Tuhan adalah: Yesus Kristus 

Mayoritas penduduk Indonesia adalah orang beragama, namun dari apa yang kita dengar dan lihat, tingkah laku mereka banyak yang tidak mencerminkan sikap hidup orang beragama dan beriman. Setiap hari pada Media Massa, hamper ada selalu berita yang memprihatinkan akan tingkah laku manusia beragama seperti:

  • Pembunuhan                                      
  • Penindasan
  • Pencurian
  • Pemerasan
  • Penipuan
  • Tawuran
  • Teror
  • Perang
  • Tindakan Kriminal lainnya dll

Orang beragama yang melakukan tindakan yang keji dan brutal, menandakan bahwa dirinya dirinya kurang beriman, karena orang beriman tidak akan melakukan hal-hal yang keji dan brutal, karena hal itu bertentangan dengan kehendak Tuhan. 

Kerusuhan antar Umat beragama  dapat terjadi karena beberapa penyebab, antara lain:

  • Fanatisme yang sempit, yang biasanya disebabkan karena pemahama yang sempit tentang ajaran agamanya
  • Merasa kehadiran agama lain sebagai saingan karena posisi dan pengaruh agamanya akan terancam
  • Pencemaran simbol-simbol agama oleh pemeluk agama lain yang dapat menimbulkan kemarahan dari pemeluk suatu agama
  • Agama sering dijadikan alat tunggangan kepentingan lain yang bersifat politis dan ekonomis 

Praktek beragama yang benar adalah menghayati agamanya dalam hidup sehari-hari.

Dalam Penghayatan agama yang benar akan terjadi: 

  1. Pertumbuhan Iman yang subur

Pancaran iman akan tampak dalam prilaku seseorang yang tercermin dalam:

  • Kasih
  • Sukacita
  • Damai Sejahtera
  • Kesabaran
  • Kelemahlembutan
  • Penguasaan diri dll

  1. Dalam Prilaku hidup sehari-hari

Sebagai buah dari pertumbuhan Iman yang subur, akan lahir prilaku dalam hidup sehari-hari yang bermanfaat bagi sesama dan tingkah laku yang merugikan sesama dapat dihindarkan. 

  1. Toleransi beragama

Penghayatan agama yang benar akan menjadikan hubungan yang baik antar umat beragama yang lain, hal tersebut dapat diwujudkan dengan:

  • Berhenti berbicara jelek satu dengan yang lain, termasuk didalam lingkungan umat seagamanya sendiri.
  • Penyebaran agama yang menghargai kebebasan tanpa paksaan, sehingga orang bebas memilih agama yang ingin dianutnya
  • Bisa menerima secara tulus hak azasi manusia, termasuk jika terjadi perpindahan Agama dari Agamanya ke Agama lain.
  • Memiliki kebesaran hati, yang mayoritas mengakui keberadaan yang minoritas dan yang minoritas mengakui keberadaan yang mayoritas secara tulus dan bersaudara. 

Perbedaan antara Beragama dan Beriman dapat disimpulkan sebagai berikut

  •     Beragama: merupakan aktivitas yang bersifat kelembagaan, peraturan agama dan    kegiatan keagamaan.
  •      Beriman: penghayatan hidup, dimana terjadi persatuan dengan Tuhan dalam bentuk     penyerahan diri atau prilaku yang sesuai dengan kehendak Tuhan. 

Contoh-contoh perwujudan iman dalam kehidupan sehari-hari :

  • melaksanakan kehidupan keagamaan bukan sebagai rutinitas, melainkan sebagai nafas kehidupan sehingga  menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi.
  • mampu menolong dan mengembirakan setiap orang yang kita jumpai
  • hidup tanpa permusuhan
  • mau berbuat baik kepada semua orang dengan dasar cinta kasih 

Menjalani hidup dengan benar merupakan manfaat dari hidup beriman kepada Tuhan. Adapun manfaat dari hidup Beriman adalah:

  • Tidak was-was/khawatir akan hidup yang sedang dijalani
  • Manusia dapat menjalani hidupnya dengan benar
  • Merasa dekat dengan Allah memiliki hubungan yang baik
  • Merasa bahagia, aman, damai tenang dan optimis dalam menatap hidup
  • Bahagia, tenang damai dan tabah karena yakin akan pertolongan Allah
  • Senantiasa beroleh kekuatan dan keberanian untuk menghadapi masalah hidup 

Bagi orang yang menjalani hidup tanpa Iman biasanya akan diliputi oleh:

  • Rasa takut
  • Gelisah
  • Tidak punya harapan
  • Cepat putus asa
  • Cenderung mencari jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya dll 

Dalam suratnya, Rasul Yakobus, menjelaskan bahwa hidup beriman yang mendalam diartikan sebagai:

  •  Hidup dalam kesatuan antara ibadah dan perbuatan ( Yak 1:26)
  • Hubungan dengan Allah yang telah mengasihi kita, seharusnya menjadi nyata dalam kasih kepada sesama
  • Hubungan dengan Allah dibangun melalui Ibadah, sedangkan hubungan dengan sesama ditampakkan dalam tindakan nyata
  • Orang tidaklah cukup hanya menjadi pendengar dan penerima Firman Allah saja, melainkan juga harus menjadi pelaku Firman (Yak 1:22)
  • Seseorang haruslah  berbuat kasih kepada sesamanya (Yak 1:19-20) 

Kepada Jemaat di Galatia, Santo Paulus dalam suratnya juga menegaskan tentang pentingnya Iman yaitu:

  • Ciri orang yang benar adalah hidup dari Iman (Gal 3:11)
  • Orang yang hidup dari Iman akan diberkati
  • Orang hidup dari Iman akan menjalani hubungan yang baru dengan Allah
  •  Dengan Iman, Paulus hidup dari situasi dosa kedalam situasi rahmat
  • Dicontohkan juga dengan jelas tokoh dalam hal keteladanan hidup beriman yaitu Abraham. 

Tokoh yg dikenal sebagai “Bapa Orang Beriman (Rom 4:12) adalah ABRAHAM.

Tokoh ini diakui dalam 3 Agama besar yaitu Yahudi. Kristen dan Islam. Sikap Iman Abraham ini diperlihatkan dengan:

  • Menjawab panggilan Allah untuk meninggalkan kampung halamannya, sanak keluarga dan berangkat ke Negri yang ditunjuk untuk menjadi bapak suatu bangsa yang besar
  • Abraham meninggalkan segala-galanya dan pergi ke Negri yang sama sekali belum dikenalnya.
  • Satu-satunya pegangan Abraham adalah iman akan Allah.
  • Abraham percaya  Allah pasti melindungi & berbuat sesuatu yg baik baginya
  • Abraham merasa aman, karena ia percaya, disitulah letak ketaatan dan kesetiaan iman Abraham kepada Allah 

Dari pandangan Rasul Yakobus dan santo Paulus, menjadi jelas bahwa beriman didalam hidup manusia sangatlah penting.

Dengan Beriman berarti kita:

  • Mempercayakan hidup kita kepada Allah
  • Mempunyai kekuatan, keberanian serta optimisme dalam menghadapi masalah-masalah hidup
  • Tidak mudah putus asa melainkan tabah dan setia saat menghadapi kesulitan hidup.
  • Senantiasa damai, tenang dan bahagia
  • Selalu mengusahakan hidup sejalan dengan kehendak Allah 

Dalam perumpamaan  Orang samaria yang Murah Hati (Lukas 10: 25-37)

Yesus ingin menyampaikan beberapa hal penting yaitu:

  • Ajakan untuk mewujudkan Iman dalam perbuatan nyata hidup sehari-hari
  • Tindakan nyata perlu diwujudkan kepada setiap orang tanpa kecuali termasuk musuh/lawan sekalipun yang membutuhkan pertolongan kita.
  • Jika berbuat baik/kasih terhadap sesama, hendaknya tidak memamerkan jabatan/golongan/kedudukan
  • Imam dan Orang dari suku Lewi dalam perumpamaan tsb, adalah gambaran orang yang terhormat, menjadi tokoh Agama dan banyak memiliki aktivitas keagamaan, namun perbuatannya tidaklah mencerminkan sebagi orang Beriman, yang memiliki banyak ilmu dan pengetahuan tentang Agama, tetapi kurang dapat mengaktualisasikan Agamanya tersebut dalam kehidupan bersama/bermasyarakat yang baik.
  • Orang Samaria dalam Perumpamaan adalah gambaran orang yang sering disingkirkan, dilecehkan, direndahkan, tetapi Justru Orang samaria tsb mampu menembus sekat-sekat kehidupana bersama yang lebih mendalam atau gambaran dari orang yang mampu mewujudkan nilai-nilai agama dalam kehidupan konkrit melauli tindakannya menolong orang yang membutuhkan tanpa memandang siapa yang ditolong
  • Dalam hidup Beragama dan Beriman, Orang samarialah yang patut kita teladani.

 



 

 

 

21 September 2021

GEREJA YANG SATU

 

Pengantar:

“Allah telah berkenan menghimpun orang-orang yang beriman akan Kristus menjadi Umat Allah (lih 1Ptr 2:5-10)”, dan membuat mereka menjadi satu Tubuh (lih. 1Kor 12:12) dan (AA 18). “Pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja ialah kesatuan Allah yang tunggal dalam tiga pribadi, Bapa, Putra dan Roh Kudus” (UR 2).

Landasan Hukum Gereja yang Satu

landasan Hukum Gereja yang Satu dapat kita lihat dalam Katekismus Gereja Katolik dibawah ini :

“Itulah satu-satunya Gereja Kristus, yang dalam syahadat iman kita akui sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik” (LG 8). Keempat sifat ini, yang tidak boleh dipisahkan satu dari yang lain, melukiskan ciri-ciri hakikat Gereja dan perutusannya. Gereja tidak memilikinya dari dirinya sendiri. Melalui Roh Kudus, Kristus menjadikan Gereja-Nya itu satu, kudus, katolik, dan apostolik. Ia memanggilnya supaya melaksanakan setiap sifat itu. (KGK 811)

Hanya iman dapat mengakui bahwa Gereja menerima sifat-sifat ini dari asal ilahinya. Namun akibat-akibatnya dalam sejarah merupakan tanda yang juga jelas mengesankan akal budi manusia. Seperti yang dikatakan Konsili Vatikan I, Gereja “oleh penyebarluasannya yang mengagumkan, oleh kekudusannya yang luar biasa, dan oleh kesuburannya yang tidak habis-habisnya dalam segala sesuatu yang baik, oleh kesatuan katoliknya dan oleh kestabilannya yang tak terkalahkan, adalah alasan yang kuat dan berkelanjutan sehingga pantas dipercaya dan satu kesaksian yang tidak dapat dibantah mengenai perutusan ilahinya” (DS 3013). (KGK 812)

Gereja itu satu menurut asalnya. “Pola dan prinsip terluhur misteri itu ialah kesatuan Allah tunggal dalam tiga Pribadi, Bapa, Putera, dan Roh Kudus” (UR 2 §5).

Gereja itu satu menurut Pendiri-Nya. “Sebab Putera sendiri yang menjelma … telah mendamaikan semua orang dengan Allah, dan mengembalikan kesatuan semua orang dalam satu bangsa dan satu tubuh” (GS 78,3).

Gereja itu satu menurut jiwanya. “Roh Kudus, yang tinggal di hati umat beriman, dan memenuhi serta membimbing seluruh Gereja, menciptakan persekutuan umat beriman yang mengagumkan itu, dan sedemikian erat menghimpun mereka sekalian dalam Kristus, sehingga menjadi prinsip kesatuan Gereja” (UR 2 §2).

Namun sejak awal, Gereja yang satu ini memiliki kemajemukan yang luar biasa. Di satu pihak kemajemukan itu disebabkan oleh perbedaan anugerah-anugerah Allah, di lain pihak oleh keanekaan orang yang menerimanya. Dalam kesatuan Umat Allah berhimpunlah perbedaan bangsa dan budaya. Di antara anggota-anggota Gereja ada keanekaragaman anugerah, tugas, syarat-syarat hidup dan cara hidup; “maka dalam persekutuan Gereja selayaknya pula terdapat Gereja-gereja khusus, yang memiliki tradisi mereka sendiri” (LG 13). Kekayaan yang luar biasa akan perbedaan tidak menghalang-halangi kesatuan Gereja, tetapi dosa dan akibat akibatnya membebani dan mengancam anugerah kesatuan ini secara terus-menerus. Karena itu Santo Paulus harus menyampaikan nasihatnya, “supaya memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera” (Ef 4:3). (KGK 814)

Manakah ikatan-ikatan kesatuan? 

  1. Terutama cinta, “ikatan kesempurnaan” (Kol 3:14).
  2. Kesatuan Gereja peziarah juga diamankan oleh ikatan persekutuan yang tampak berikut ini:

  • Pengakuan iman yang satu dan sama, yang diwariskan oleh para Rasul;
  • Perayaan ibadat bersama, terutama Sakramen-sakramen;
  • Suksesi apostolik, yang oleh Sakramen Tahbisan menegakkan kesepakatan sebagai saudara-saudari dalam keluarga Allah. (KGK 815)

“Itulah satu-satunya Gereja Kristus … Sesudah kebangkitan-Nya, Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan. Ia mempercayakannya kepada Petrus_dan para rasul lainnya untuk diperluaskan dan dibimbing… Gereja itu, yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam [subsistit in] Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya” (LG 8).

Dekrit Konsili Vatikan II mengenai ekumene menyatakan: “Hanya melalui Gereja Kristus yang katoliklah, yakni upaya umum untuk keselamatan, dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya penyelamatan. Sebab kita percaya, bahwa hanya kepada Dewan Para Rasul yang diketuai oleh Petrus-lah Tuhan telah mempercayakan segala harta Perjanjian Baru, untuk membentuk satu Tubuh Kristus di dunia. Dalam Tubuh itu harus disaturagakan sepenuhnya siapa saja, yang dengan suatu cara telah termasuk Umat Allah” (UR 3). (KGK 816)

Gereja yang Satu: Kesatuan di dalam Gereja mendapatkan dasarnya dari kesatuan Tritunggal, yaitu Bapa, Putera dan Roh Kudus. ... Sama halnya dengan Gereja, kendati beraneka ragam, namun tetap Satu yaitu Gereja yang berkumpul dalam Tuhan Yesus Kristus.

 


18 September 2021

SIFAT-SIFAT GEREJA

 

Pengantar

Syahadat iman Gereja Katolik dirumuskan dalam doa kredo (credere = percaya). Ada dua rumusan kredo yaitu rumusan pendek dan rumusan panjang. Syahadat rumusan pendek disebut Syahadat Para Rasul karena menurut tradisi syahadat ini disusun oleh para rasul. Yang panjang disebut Syahadat Nikea yang disahkan dalam Konsili Nikea (325) yang menekankan keilahian Yesus. Dikemudian hari lazim disebut sebagai Syadat Nikea-Konstantinopel karena berhubungan dengan Konsili Konstantinopel I (381). Pada Konsili ini ditekankan keilahian Roh Kudus yang harus disembah dan dimuliakan bersama Bapa dan Putera.Syahadat inilah yang lebih banyak digunakan dalam liturgi-liturgi Gereja Katolik. Di dalam rumusan syahadat panjang itu pada bagian akhir dinyatakan keempat sifat atau ciri Gereja Katolik : satu, kudus, katolik dan apostolik.

1. Gereja itu “satu” karena Roh Kudus yang mempersatukan para anggota jemaat satu sama lain dengan para kepala atau pimpinan jemaat (uskup) baik partikular maupun universal (Paus) yang berkedudukan di Vatikan.

Katekismus Gereja Katolik (KGK) menjelaskan bahwa Gereja itu satu, karena tiga alasan. Pertama, Gereja itu satu menurut asalnya, yang adalah Tritunggal Mahakudus, kesatuan Allah tunggal dalam tiga Pribadi – Bapa, Putra dan Roh Kudus. Kedua, Gereja itu satu menurut pendiri-Nya, Yesus Kristus, yang telah mendamaikan semua orang dengan Allah melalui darah-Nya di salib. Ketiga, Gereja itu satu menurut jiwanya, yakni Roh Kudus, yang tinggal di hati umat beriman, yang menciptakan persekutuan umat beriman, dan yang memenuhi serta membimbing seluruh Gereja (KGK art.813).

“Kesatuan” Gereja juga kelihatan nyata. Sebagai orang-orang Katolik, kita dipersatukan dalam pengakuan iman yang satu dan sama, dalam perayaan ibadat bersama terutama sakramen-sakramen, dan struktur hierarkis berdasarkan suksesi apostolik yang dilestarikan dan diwariskan melalui Sakramen Tahbisan Suci. Sebagai contoh, kita ikut ambil bagian dalam Misa di Surabaya, Larantuka, Alexandria, San Francisco, Moscow, Mexico City, Etiopia atau di manapun, Misanya sama; bacaan-bacaan, tata perayaan, doa-doa, dan lain sebagainya terkecuali bahasa yang dipergunakan dapat berbeda – dirayakan oleh orang-orang percaya yang sama-sama beriman Katolik, dan dipersembahkan oleh Imam yang dipersatukan dengan Uskupnya, yang dipersatukan dengan Bapa Suci, Paus, penerus tahta St. Petrus.

Gereja yang satu memiliki kemajemukan yang luar biasa. Umat beriman menjadi saksi iman dalam panggilan hidup yang berbeda-beda dan beraneka bakat serta talenta, tetapi saling bekerjasama untuk meneruskan misi Tuhan kita. Keanekaragaman budaya dan tradisi memperkaya Gereja kita dalam ungkapan iman yang satu. Pada intinya, cinta kasih haruslah merasuki Gereja, sebab melalui cinta kasihlah para anggotanya saling dipersatukan dalam kebersamaan dan saling bekerjasama dalam persatuan yang harmonis.

2. Gereja itu “kudus” karena berkat Roh Kudus yang menjiwai-Nya, Gereja bersatu dengan Tuhan, satu-satunya yang dari diri-Nya sendiri kudus.

Gereja katolik meyakini diri kudus bukan karena tiap anggotanya sudah kudus tetapi lebih-lebih karena dipanggil kepada kekudusan oleh Tuhan, “Hendaklah kamu sempurna sebagaimana Bapamu di surga sempurna adanya” (Mat 5:48).Perlu diperhatikan juga bahwa kategori kudus yang dimaksud terutama bukan dalam arti moral tetapi teologi, bukan soal baik atau buruknya tingkah laku melainkan hubungannya dengan Allah. Ini tidak berarti hidup yang sesuai dengan kaidah moral tidak penting. Namun kedekatan dengan yang Ilahi itu lebih penting, sebagaimana dinyatakan, “kamu telah memperoleh urapan dari Yang Kudus (1Yoh 2:20),yakni dari Roh Allah sendiri (bdk. Kis10:38). Diharapkan dari diri seorang yang telah terpanggil kepada kekudusan seperti itu juga menanggapinya dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan kaidah-kaidah moral (lihat LG. Art.26).

Perjanjian Baru melihat proses pengudusan manusia sebagai pengudusan oleh Roh Kudus (lih. 1Ptr 1: 2). Dikuduskan karena terpanggil (lih. Rm 1:7). Dari pihak manusia, kekudusan (kesucian) hanya berarti tanggapan atas karya Allah, terutama dengan sikap iman dan pengharapan. Sikap iman dinyatakan dalam segala perbuatan dan kegiatan kehidupan yang serba biasa. Kesucian bukan soal bentuk kehidupan (seperti menjadi biarawan), melainkan sikap yang dinyatakan dalam hidup sehari-hari.

Kekudusan itu terungkap dengan aneka cara pada setiap orang. Kehidupan Gereja bukanlah suatu sifat yang seragam, yang sama bentuknya untuk semua, melainkan semua mengambil bagian dalam satu kekudusan Gereja, yang berasal dari Kristus. Kesucian ini adalah kekudusan yang harus diperjuangkan terus-menerus. Sumber dari mana Gereja berasal adalah kudus. Gereja didirikan oleh Kristus. Gereja menerima kekudusannya dari Kristus dan doa-Nya. “Ya Bapa yang kudus,… kuduskanlah mereka dalam kebenaran … (lih. Yoh 17: 11). Tujuan dan arah Gereja adalah kudus. Gereja bertujuan untuk kemuliaan Allah dan penyelamatan umat manusia.

Tuhan kita Sendiri adalah sumber dari segala kekudusan: “Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam tubuh-Nya, yakni Gereja” (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, #14). Kristus menguduskan Gereja, dan pada gilirannya, melalui Dia dan bersama Dia, Gereja adalah agen pengudusan-Nya. Melalui pelayanan Gereja dan kuasa Roh Kudus, Tuhan kita mencurahkan berlimpah rahmat, teristimewa melalui sakramensakramen.

Oleh karena itu, melalui ajarannya, doa dan sembah sujud, serta perbuatan-perbuatan baik, Gereja adalah tanda kekudusan yang kelihatan.

“Uskup mempunyai kepenuhan sakramen Tahbisan, maka ia menjadi “pengurus rahmat imamat tertinggi” terutama dalam Ekaristi, yang dipersembahkannya sendiri atau yang dipersembahkan atas kehendaknya, dan yang tiada hentinya menjadi sumber kehidupan dan pertumbuhan Gereja” (LG.art.26). Masing-masing kita sebagai anggota Gereja, telah dipanggil kepada kekudusan. Melalui Sakramen Baptis, kita telah dibebaskan dari dosa asal, dipenuhi dengan rahmat pengudusan, dibenamkan ke dalam misteri sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan, dan dipersatukan ke dalam Gereja, “umat kudus Allah”. Dengan rahmat Tuhan, kita berjuang mencapai kekudusan. Konsili Vatican II mendesak, “Segenap umat Katolik wajib menuju kesempurnaan Kristen, dan menurut situasi masing-masing mengusahakan, supaya Gereja, ke hari makin dibersihkan dan diperbaharui, sampai Kristus menempatkannya di hadapan Dirinya penuh kemuliaan, tanpa cacat atau kerut” (Dekrit tentang Ekumenisme, #4).

Gereja kita telah ditandai dengan teladan-teladan kekudusan yang luar biasa dalam hidup para kudus sepanjang masa. Tak peduli betapa gelapnya masa bagi Gereja kita, selalu ada para kudus besar melalui siapa terang Kristus dipancarkan. Kita manusia yang rapuh, dan terkadang kita jatuh dalam dosa; tetapi, kita bertobat dari dosa kita dan sekali lagi kita melanjutkan perjalanan di jalan kekudusan. Dalam arti tertentu, Gereja kita adalah Gereja kaum pendosa, bukan kaum yang merasa diri benar atau merasa yakin akan keselamatannya sendiri. Salah satu doa terindah dalam Misa dipanjatkan sebelum Tanda Damai, “Tuhan Yesus Kristus, jangan memperhitungkan dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu.” Meski individu-individu warga Gereja rapuh dan malang, jatuh dan berdosa, Gereja terus menjadi tanda dan sarana kekudusan.

3. Gereja itu “katolik”, “menyeluruh”, “am” atau “umum” karena tersebar di seluruh dunia sehingga mencakup semua.

Katolik makna aslinya berarti universal atau umum. Arti universal dapat dilihat secara kwantitatif dan kualitatif. Gereja itu katolik karena Gereja dapat hidup di tengah segala bangsa dan memperoleh warganya dari semua bangsa. Gereja sebagai sakramen Roh Kudus mempunyai pengaruh dan daya pengudus yang tidak terbatas pada anggota Gereja saja, melainkan juga terarah kepada seluruh dunia. Dengan sifat katolik ini dimaksudkan bahwa Gereja mampu mengatasi keterbatasannya sendiri untuk berkiprah ke seluruh penjuru dunia.

Gereja itu katolik karena ajarannya dapat diwartakan kepada segala bangsa dan segala harta kekayaan bangsa-bangsa dapat ditampungnya sejauh itu baik dan luhur. Gereja terbuka terhadap semua kemampuan, kekayaan, dan adat-istiadat yang luhur tanpa kehilangan jati dirinya. Sebenarnya, Gereja bukan saja dapat menerima dan merangkum segala sesuatu, tetapi Gereja dapat menjiwai seluruh dunia dengan semangatnya. Oleh sebab itu, yang katolik bukan saja Gereja universal, melainkan juga setiap anggotanya, sebab dalam setiap jemaat hadirlah seluruh Gereja. Setiap jemaat adalah Gereja yang lengkap, bukan sekedar “cabang” Gereja universal. Gereja setempat merupakan seluruh Gereja yang bersifat katolik.

Gereja bersifat katolik berarti terbuka bagi dunia, tidak terbatas pada tempat tertentu, bangsa dan kebudayaan tertentu, waktu atau golongan masyarakat tertentu. Kekatolikan Gereja tampak dalam: Rahmat dan keselamatan yang ditawarkannya.

Iman dan ajaran Gereja yang bersifat umum, dapat diterima dan dihayati oleh siapa pun juga. Kekatolikan Gereja tidak berarti bahwa Gereja meleburkan diri ke dalam dunia. Dalam keterbukaan itu, Gereja tetap mempertahankan identitas dirinya. Kekatolikan justru terbukti dengan kenyataan bahwa identitas Gereja tidak tergantung pada bentuk lahiriah tertentu, melainkan merupakan suatu identitas yang dinamis, yang selalu dan dimana-mana dapat mempertahankan diri, bagaimanapun juga bentuk pelaksanaannya. Kekatolikan Gereja bersumber dari firman Tuhan sendiri.

Gereja itu bersifat dinamis. Maka Gereja dapat dikembangkan lebih nyata atau diwujudkan dengan cara: Bersikap terbuka dan menghormati kebudayaan, adatistiadat, bahkan agama bangsa mana pun. Bekerja sama dengan pihak mana pun yang berkehendak baik untuk mewujudkan nilai-nilai yang luhur di dunia ini. Berusaha untuk memprakarsai dan memperjuangkan suatu dunia yang lebih baik untuk umat manusia. Terlibat dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga kita dapat memberi kesaksian bahwa “katolik” artinya terbuka untuk apa saja yang baik dan siapa yang berhendak baik.

4. Gereja itu “apostolik” karena warganya dikatakan “anggota umat Allah” jika bersatu dengan pusat-pusat Gereja yang mengakui diri sebagai tahta para Rasul (apostoloi).

Gereja yang apostolik berarti Gereja yang berasal dari para Rasul dan tetap berpegang teguh pada kesaksian iman mereka, yang mengalami secara dekat peristiwa Yesus. Kesadaran bahwa Gereja dibangun atas dasar para Rasul dengan Yesus Kristus sebagai batu penjuru sudah ada sejak zaman Gereja Perdana. Hubungan historis antara Gereja para Rasul dan Gereja sekarang tidak boleh dilihat sebagai semacam “estafet”, yang di dalamnya ajaran yang benar bagaikan sebuah tongkat dari Rasul-Rasul tertentu diteruskan sampai kepada para uskup sekarang. Yang disebut apostolik bukanlah para Uskup, melainkan Gereja. Hubungan historis itu pertama-tama menyangkut seluruh Gereja dalam segala bidang dan pelayanannya. Gereja bersifat apostolik berarti Gereja sekarang mengaku diri sama dengan Gereja Perdana, yakni Gereja para Rasul. Hubungan historis itu jangan dilihat sebagai pergantian orang, melainkan sebagai kelangsungan iman dan pengakuan.

Gereja yang apostolik tidak berarti bahwa Gereja terpaku pada Gereja Perdana. Gereja tetap berkembang di bawah bimbingan Roh Kudus dan tetap berpegang pada Gereja para Rasul sebagai norma imannya. Hidup Gereja tidak boleh bersifat rutin, tetapi harus dinamis. Gereja disebut apostolik karena Gereja berhubungan dengan para rasul yang diutus oleh Kristus. Hubungan itu tampak dalam: Legitimasi fungsi dan kuasa hierarki dari para Rasul. Fungsi dan kuasa hierarki diwariskan dari para rasul. Ajaran-ajaran Gereja diturunkan dan berasal dari kesaksian para rasul.Ibadat dan struktur Gereja pada dasarnya berasal dari para rasul. Gereja sekarang sama dengan Gereja para rasul. Bahkan identitas Gereja sekarang mempunyai kesatuan dan kesamaan fundamental dengan Gereja para rasul.

Keempat sifat Gereja itu saling kait mengait, tetapi tidak merupakan rumus yang siap pakai. Gereja memahaminya dengan merefleksikan dirinya sendiri dengan karya Roh Kudus di dalam dirinya. Gereja itu Ilahi sekaligus insani, berasal dari Yesus dan berkembang dalam sejarah. Gereja itu bersifat dinamis, tidak sekali jadi dan statis, oleh karena itu sifat-sifat Gereja tersebut harus selalu diperjuangkan.

 Kesimpulan:

  • Untuk melaksanakan tritugas-Nya, yaitu sebagai imam, nabi dan raja, Kristus melibatkan para murid-Nya. Sebagai kelompok yang dibentuk oleh Kristus, para murid menanggapi panggilan-Nya dengan menunjukkan ciri-ciri hidup tertentu, sebagaimana dikehendaki oleh Kristus pendirinya. 
  • Sebagai kumpulan yang mengenal dan percaya kepada Kristus, para murid disebut sebagai Gereja perdana. Gereja adalah kumpulan umat beriman kepada Kristus yang memiliki kesatuan yang tidak terpisahkan, sebagaimana tubuh dari kepalanya. 
  • Setiap makhluk hidup, kota, kelompok bahkan negara memiliki cara hidup atau ciri-ciri tersendiri, yang membedakannya dari makhluk hidup, kota, kelompok atau negara yang lain. 
  • Ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh setiap kota, kelompok, atau negara tersebut merupakan suatu keistimewaan, yang dapat menjadi daya tarik sekaligus keunggulan. 
Kristus menegaskan kepada para murid-Nya, untuk selalu menunjukkan sikap serta ciri-ciri kehidupan tertentu. Berdasarkan pada sabda serta ajaran-Nya, Gereja terpanggil untuk mewujudkan diri sebagai komunitas dengan ciri-ciri yang satu, kudus, katolik dan apostolik.    
Satu
Ciri satu, menegaskan bahwa Gereja sebagai kumpulan orang- orang beriman kepada Kristus hendaknya berhimpun menjadi umat Allah (1 Petrus 2:5-10) dan menjadi satu Tubuh (1 Korintus   12:12).                                                                                                               
Kudus
Ciri Kudus menegaskan bahwa Gereja dipanggil kepada kekudusan oleh Tuhan, “Hendaklah kamu sempurna sebagaimana Bapamu di surga sempurna adanya” (Matius 5:48). Perlu diperhatikan juga bahwa kategori kudus yang dimaksud menegaskan bahwa Gereja merupakan kumpulan orang-orang beriman yang terpanggil untuk hidup suci, yaitu hidup sesuai dengan kehendak Allah.                                                                                         Katolik
Ciri Katolik ini mengandung arti Gereja yang utuh, lengkap, tidak hanya setengah atau sebagian dalam menerapkan sistem yang berlaku dalam Gereja. Bersifat universal artinya Gereja Katolik itu mencakup semua orang yang telah dibaptis secara Katolik di seluruh dunia dimana setiap orang menerima pengajaran iman dan moral serta berbagai tata liturgi yang sama dimana pun berada. Kata universal juga sering dipakai untuk menegaskan tidak adanya sekte-sekte dalam Gereja Katolik.                                                                                       Apostolik
  • Ciri yang terakhir dari Gereja Katolik adalah apostolik. Dengan ciri ini mau ditegaskan adanya kesadaran bahwa Gereja “dibangun atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru” (Efesus 2:20). Gereja Katolik mementingkan hubungan historis, turun temurun, antara para rasul dan pengganti mereka, yaitu para uskup.

GEREJA SEBAGAI UMAT ALLAH

 

A.       Arti dan Makna Gereja sebagai Umat Allah

 

Kata “Gereja” yang berasal dari kata igreja dibawa ke Indonesia oleh para misionaris Portugis. Kata tersebut adalah ejaan Portugis untuk kata Latin ecclesia, yang ternyata berasal dari bahasa Yunani, ekklesia. Kata Yunani itu sebetulnya berarti ‘kumpulan’ atau ‘pertemuan’, ‘rapat’. Namun Gereja atau ekklesia bukan sembarang kumpulan, melainkan kelompok orang yang sangat khusus. Untuk menonjolkan kekhususan itu dipakailah kata asing itu. Kadang-kadang dipakai kata “jemaat” atau “umat”. Itu tepat juga. Tetapi perlu diingat bahwa jemaat ini sangat istimewa. Maka barangkali lebih baik memakai kata “Gereja” saja, yakni ekklesia. Kata Yunani itu berasal dari kata yang berarti ‘memanggil’. Gereja adalah umat yang dipanggil Tuhan. Itulah arti sesungguhnya kata “Gereja”.


Istilah “Umat Allah” sudah digunakan dalam Perjanjian Lama yang kemudian dimunculkan dan dihidupkan kembali oleh Konsili Vatikan II setelah sekian lama Gereja menjadi terlalu hierarkis; didominasi oleh kaum rohaniwan dan awam yang adalah mayoritas dalam Gereja agak terdesak ke pinggir. Dengan paham Gereja sebagai Umat Allah, diakui kembali kesamaan martabat dan peranan semua anggota Gereja. Semua anggota Gereja memiliki martabat yang sama, hanya berbeda dalam hal fungsi.


Menurut Minear, umat Allah adalah umat yang kepadanya Allah mengutus Anak-Nya sebagai Penyelamat dan Raja. Umat Allah tidak lepas dari kelahiran Yesus atau PelayananNya, dan dari pesta Perjamuan Kudus atau Kebangkitan atau bahkan keturunan Roh pada hari Pentakosta. Tetapi juga harus diingat bahwa Umat Allah juga tidak bisa lepas dari perjanjian yang mana aktivitas Allah dalam zaman Abraham dan Musa. Kenyataan ini, tentu tidak mengecualikan realitas pemilihan atau mengurangi makna yang abadi.


Dalam pemahaman ini, Tom Jacobs lebih menyetujui Ekaristi sebagai artian Gereja khususnya dalam artian “umat Allah” atau dengan perjamuan Ekaristi, terbentuklah jemaat. Perayaan ekaristi tertuju pada pembentukan jemaat hal itu jelas dalam 1 Kor 11:22. Bagi paulus, Jemaat Allah sama artinya dengan umat Allah, tetapi dalam kata Yunani, “Umat (Laos) Allah” tidak tepatnya sama dengan “Jemaat (Ekklesia) Allah” dan yang sangat menyolok, “umat Allah yang dipakai oleh Paulus, hanya dipakai untuk kutipan-kutipan Perjanjian Lama

Geraja sebagai Umat Allah memiliki ciri khasnya yakni:

  • Umat Allah merupakan suatu pilihan dan panggilan dari Allah sendiri. Umat Allah adalah bangsa terpilih, bangsa terpanggil.
  • Umat Allah dipanggil dan dipilih untuk Allah dan untuk misi tertentu, yaitu menyelamatkan dunia.
  • Hubungan antara Allah dan umatNya dimeteraikan olehsuatu perjanjian. Umat harus menaati perintah-perintah Allah dan Allah akan selalu menepati janji-janjiNya.      
  • Umat Allah selalu dalam perjalanan melewati padang pasir menuju Tanah Terjanji.

Dalam Perjanjian Baru, Gereja merupakan satu Umat Allah yang sehati sejiwa, seperti yang ditunjukkan oleh Umat Purba. Gereja harus merupakan seluruh umat, bukan hanya hierarki saja dan awam seolah-olah hanya merupakan tambahan, pendengar dan pelaksana. Singkatnya: Gereja hendaknya mengumat. 

B.  Dasar dan Konsekuensi Gereja yang Mengumat

1. Dasar dari Gereja yang Mengumat

Setiap orang dipanggil untuk melibatkan diri secara penuh dalam kehidupan Umat Allah atau MENGUMAT. Mengapa harus demikian?

  • Hidup  mengumat pada dasarnya merupakan hakikat dari Gereja itu sendiri, sebab hakekat Gereja adalahpersaudaraan cinta kasih seperti yang dicerminkan oleh hidup Umat Purba.
  • Dalam hidup mengumat banyak karisma dan rupa-rupa karunia dapat dilihat, diterima dan digunakan bagi kekayaan seluruh Gereja. Hidup Gereja yang terlalu menampilkan segi organisatoris dan structural dapat mematikan banyak karisma dan karunia yang muncul dari bawah.
  • Dalam hidup mengumat, semua orang yang merasa menghayati martabat yang sama akan bertanggungjawab secara aktif dalam fungsinya masing-masing untuk membangun Gereja dan memberi kesaksian kepada dunia. 

2.      Konsekuensi dari Gereja yang Mengumat

a.      Konsekuensi bagi Pimpinan Gereja (Hierarki)

  • Menyadari fungsi pimpinan sebagai fungsi pelayanan. Pimpinan bukan di atas umat, tetapi di tengah umat.
  • Harus peka untuk melihat dan mendengar karisma dan karunia-karunia yang bertumbuh di kalangan umat. 

b.      Konsekuensi bagi setiap Anggota Umat

  • Menyadari dan menghayati persatuannya dengan umat lain. Orang tak dapat menghayati kehidupan imannya secara individu saja.
  • Aktif dalam kehidupan mengumat, menggunakan segala karisma, karunia dan fungsi yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan dan misi Gereja di tengah masyarakat. Semua bertanggung jawab dalam hidup dan misi Gereja. 

c.    Konsekuensi bagi Hubungan Awam dan Hierarki

·   Paham Gereja sebagai Umat Allah jelas membawa konsekuensi dalam hubungan antara hierarki dan kaum awam. Kaum awam bukan lagi pelengkap penyerta, melainkan partner hierarki.

  • Awam dan hierarki memiliki martabat yang sama, hanya berbeda dalam hal fungsi.
  • Kaum awab bukan lagi pelengkap penyerta terapi partner hierarki. 

 

 


GEREJA SEBAGAI PERSEKUTUAN UMAT TERBUKA

 

Umat katolik hidup di tengah dunia bersama sesama manusia lainnya yang bermacam-ragam latarbelakang suku-bangsa, agama, serta keyakinannya. Dalam sejarah panjangnya, Gereja Katolik pernah “menutup diri” dengan ajaran bahwa di luar Gereja (Katolik) tidak ada keselamatan (extra ecllesiam nula salus). Ajaran ini membuat Gereja (Katolik) menutup pintu dialog dengan agama dan kepercayaan serta masyarakat lain pada umumnya. Sejarah Gereja berubah ketika Konsili Vatikan II (1962-1965), membuka pintu-pintu dialog, serta memperbarui diri untuk hidup bersama dengan sesama manusia ciptaan Tuhan dari berbagai latarbelakang agama dan budaya. Meski pintu dialog sudah dibuka lebar-lebar oleh para bapa Gereja kita, di tengah masyarakat kita masih menjumpai banyak Umat Katolik yang hidup secara eksklusif, tertutup.



Paus Fransiskus dalam audensinya dengan para peziarah di Vatikan  menegaskan bahwa Gereja ini lahir dari keinginan Allah untuk memanggil semua orang dalam persekutuan dengan dia, persahabatan dengan dia; untuk berbagi dalam kehidupan ilahi-Nya sendiri sebagai putra-putra dan putri-putri-Nya. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa kata “Gereja”, berasal dari bahasa Yunani “ekklesia”, berarti “orang – orang yang dipanggil. Demikian Paus Fransiskus menegaskan “Allah memanggil kita, Ia mendorong kita untuk keluar dari individualisme kita, dari kecenderungan kita untuk menutup diri kita sendiri, dan Dia memanggil kita untuk menjadi keluarga-Nya. Pada pokok bahasan ini akan kita pelajari secara khusus tentang Gereja sebagai persekutuan yang terbuka. Gereja hadir di dunia dengan persekutuan yang terbuka artinya, Gereja hadir di dunia bukan untuk dirinya sendiri, Gereja hadir untuk dunia, kegembiraan dan harapan serta kabar sukacita sehingga menjadi tanda keselamatan bagi dunia. Gereja sebagai persekutuan terbuka, memperlihatkan kesiapan Gereja untuk berdialog dengan agama dan budaya manapun, dan memiliki partisipasi aktif untuk membangun masyarakat yang adil, damai, dan makmur.


Gereja Umat Allah Model Institusi Piramidal. Sebelum Konsili Vatikan II Gereja mempunyai model/bentuk institusional, hierarkis pyramidal

Sebelum Konsili Vatikan II Gereja mempunyai model/bentuk institusional, hierarkis piramidal:

  • Para hierarki (Paus, Uskup, dan para tahbisan) menguasai Umat.
  • Organisasi (lahiriah) yang berstruktur piramidal, tertata rapi.
  • Mereka memiliki kuasa untuk menentukan segala sesuatu bagi seluruh Gereja.
  • Sedangkan Umat hanya mengikuti saja hasil keputusan hierarki.
  • Model ini cenderung “imam sentris” atau “hierarki sentris” artinya hierarki pusat gerak Gereja.
  • Gereja model piramidal cenderung mementingkan aturan, lebih statis dan sarat dengan aturan.
  • Gereja sering merasa sebagai satu-satunya penjamin kebenaran dan keselamatan bahkan bersikap triumfalistik (memegahkan diri).

Setelah Konsili Vatikan II, Gereja bukan lagi dipahami sebagai Gereja Pyramidal yang “hierarkis sentris” tetapi diubah menjadi “Kristosentris” Artinya Kristus sebagai pusat hidup Gereja.

Setelah Konsili Vatikan II, ada keterbukaan dan pembaharuan cara pandang pada Gereja sebagai persekutuan Umat.

  • Gereja tidak lagi “hierarki sentris” melainkan Kristosentris” artinya Kristuslah pusat hidup Gereja. Sedangkan kaum hierarki, Awam, dan Biarawan-Biarawati sama-sama mengambil bagian dalam tugas Kristus dengan cara yang berbedabeda sesuai dengan talenta dan kemampuannya masing-masing.
  • Gereja lebih bersikap terbuka dan rela berdialog untuk semua orang. Gereja meyakini bahwa di luar Gereja pun terdapat keselamatan.
  • Adanya paham Gereja sebagai Umat Allah yang memberikan penekanan pada kolegialitas episkopal (keputusan dalam kebersamaan).
  • Adanya pembaharuan (aggionarmento) yang mendorong Umat untuk terlibat dan berpartisipasi serta bekerjasama dengan para klerus.
  • Kepemimpinan Gereja; Didasarkan pada spiritualitas Yesus yang melayani para murid-Nya, maka konsekuensi yang dihadapi oleh Gereja sebagai Umat Allah adalah: hierarki yang ada dalam Gereja bertindak sebagai pelayan bagi Umat dengan cara mau memperhatikan dan mendengarkan Umat. Selain itu keterlibatan Umat untuk mau aktif dan bertanggung jawab atas perkembangan Gereja juga menjadi hal yang penting. Maka, hierarki dan Umat/awam diharapkan dapat menjalin kerja sama sebagai partner kerja dalam karya penyelamatan Allah di dunia.

Gerakan pembaruan yang terjadi dalam Gereja nampak dalam:

  • Umat punya hak dan wewenang yang sama (tetapi tetap ada batasnya), khususnya ikut menentukan gerak kegiatan liturgi di Paroki melalui wadah Dewan Paroki.
  • Gerakan pembaruan ini tidak hanya menyangkut kepemimpinan Gereja saja melainkan lebih dari itu menjangkau masalah-masalah dunia.
  • Susunan Kepengurusan Dewan Paroki bukan lagi Piramdal , melainkan lebih merupakan kaitan yang saling bekerjasama dan saling melengkapi . Intinya Gereja mengundang orang beriman untuk berkomunikasi terlibat dan diubah.

Makna Gereja sebagai Persekutuan yang Terbuka dalam Ajaran Gereja: Ad Gentes  art. 10

Gereja, yang diutus oleh Kristus untuk memperlihatkan dan menyalurkan cinta kasih Allah kepada semua orang dan segala bangsa, menyadari bahwa karya misioner yang harus dilaksanakannya memang masih amat berat. Sebab masih ada dua miliar manusia, yang jumlahnya makin bertambah, dan yang berdasarkan hubungan-hubungan hidup budaya yang tetap, berdasarkan tradisi-tradisi keagamaan yang kuno, berdasarkan pelbagai ikatan kepentingan-kepentingan sosial yang kuat, terhimpun menjadi golongan-golongan tertentu yang besar, yang belum atau hampir tidak mendengar Warta Injil. Di kalangan mereka ada yang tetap asing terhadap pengertian akan Allah sendiri, ada pula yang jelas-jelas mengingkari adanya Allah, bahkan ada kalanya menentangnya. Untuk dapat menyajikan kepada semua orang misteri keselamatan serta kehidupan yang disediakan oleh Allah, Gereja harus memasuki golongan-golongan itu dengan gerak yang sama seperti Kristus sendiri, ketika Ia dalam penjelmaan-Nya mengikatkan diri pada keadaan-keadaan sosial dan budaya tertentu, pada situasi orang-orang yang sehari-hari dijumpai-Nya. 

Makna Gereja sebagai Persekutuan Terbuka dalam Kitab Suci: Kis 4: 32-37

Kis 4:32

Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.

Kis 4:33

Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah.

Kis 4:34

Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa

Kis 4:35

dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya.

Kis 4:36

Demikian pula dengan Yusuf, yang oleh rasul-rasul disebut Barnabas, artinya anak penghiburan, seorang Lewi dari Siprus.

Kis 4:37

Ia menjual ladang, miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul.

  Note:





  • Kitab Suci (Kis 4:32-37) di atas memberikan gambaran yang ideal terhadap komunitas/persekutuan Umat Perdana. Cara hidup Umat Perdana tersebut tetap relevan bagi kita hingga sekarang. Kebersamaan dan menganggap semua adalah milik bersama mengungkapkan persahabatan yang ideal pada waktu itu. Yang pokok ialah bahwa semua anggota jemaat dicukupi kebutuhannya dan tidak seorang pun menyimpan kekayaan bagi dirinya sendiri sementara yang lain berkekurangan.
  • Mungkin saja kita tidak dapat menirunya secara harafiah, sebab situasi sosial ekonomi kita sudah sangat berbeda. Namun, semangat dasarnya dapat kita tiru, yaitu kepekaan terhadap situasi sosial-ekonomis sesama saudara dalam persekutuan Umat. Kebersamaan kita dalam hidup menggereja tidak boleh terbatas pada hal-hal rohani seperti doa, perayaan ibadah, kegiatan-kegiatan pembinaan iman, tetapi harus juga menyentuh kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya seperti yang sekarang digalakkan dalam Komunitas Basis Gereja.
  • Yesus adalah pusat Gereja, tanpa Yesus, kita (Gereja) tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya.
  • Gereja harus keluar dari diri sendiri menuju keberadaannya”. Memang jika keluar, ada berbagai masalah, namun lebih baik daripada Gereja yang menutup diri, seperti Gereja yang sakit.

 


Materi Agama Katolik

SANTO AMBROSIUS, USKUP DAN PUJANGGA GEREJA

Santo Ambrosius, Uskup dan Pujangga Gereja Tanggal Pesta: 7 Desember Ambrosius lahir pada tahun 334 di Trier, Jerman dari sebuah keluarga Kr...